Indonesia Negeri Air, Tapi Anggarannya Negeri Darat: Kritik Makna Lagu Nasional dan Ketidakadilan Rumus DAU
Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Indonesia selalu digambarkan sebagai negeri yang megah, kaya, dan mempesona melalui lagu-lagu nasional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam bait “Indonesia tanah air beta” atau “Dari Sabang sampai Merauke,” kita menangkap pesan yang sangat mendalam bahwa Indonesia adalah satu kesatuan tanah dan air, daratan dan lautan, ribuan pulau yang diikat oleh ruang biru Nusantara. Lagu-lagu itu membentuk imajinasi kolektif tentang Indonesia sebagai archipelagic state—negara kepulauan yang bersatu karena laut, bukan karena daratan yang menyambung.
Namun ketika kita memasuki wilayah kebijakan fiskal, terutama perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), karakter Indonesia sebagai negara kepulauan seolah hilang. Formula DAU hanya menghitung luas daratan, jumlah penduduk, indeks kemahalan konstruksi, dan variabel yang berorientasi pada karakter negara kontinental. Laut—yang mencakup 70% wilayah Indonesia—tidak masuk dalam rumus fiskal. Padahal laut bukan ruang kosong; laut adalah ruang hidup, ruang ekonomi, dan ruang pelayanan publik yang biayanya sangat mahal.
Kontradiksi inilah yang menjadi titik kritik besar dalam tulisan ini: Indonesia bernyanyi tentang tanah air, tetapi kebijakannya hanya menghitung tanah. Indonesia menyebut diri negara kepulauan, tetapi rumus anggarannya masih berpikir seperti negara daratan.
Artikel ini menganalisis makna lagu nasional, paradoks kebijakan fiskal, kritik pakar, serta memberikan rekomendasi konkret untuk menciptakan sistem anggaran yang adil bagi daerah kepulauan, pulau kecil, dan wilayah pesisir di seluruh Indonesia.
1. Lagu Nasional sebagai Cermin Jati Diri: Indonesia Tanah Air, Bukan Tanah Saja
Lagu-lagu nasional bukan sekadar seni; ia adalah dokumen ideologis. Dua lagu yang paling menggambarkan struktur geografis Indonesia adalah “Indonesia Pusaka” dan “Dari Sabang sampai Merauke.”
Dalam “Indonesia Pusaka,” kalimat “Indonesia tanah air beta” menyatukan dua elemen terbesar negara ini: tanah dan air. Tanah melambangkan daratan tempat manusia hidup, bekerja, dan membangun peradaban. Air melambangkan laut, yang menjadi perekat ribuan pulau dan jalur kehidupan bangsa. Istilah “tanah air” lahir dari kosmologi Nusantara sejak zaman kerajaan—ketika lautan dianggap ruang pemersatu, bukan pemisah.
Sementara itu, lagu “Dari Sabang sampai Merauke” menegaskan bahwa wilayah Indonesia bukan hamparan daratan, melainkan rangkaian pulau yang berjejer, yang disambung oleh laut dan budaya maritim. Lagu-lagu ini adalah pengingat bahwa Indonesia adalah satu kesatuan geopolitik yang unik: bukan land-based nation, melainkan archipelagic nation.
Sayangnya, filosofi lagu-lagu ini tidak tercermin dalam kebijakan fiskal negara. Ketika perencanaan pembangunan hanya menghitung daratan, maka negara telah mengabaikan jati dirinya sendiri.
2. Paradoks Kebijakan: Negeri Kepulauan Tetapi Rumus DAU Berbasis Daratan
DAU dirancang untuk pemerataan pembangunan dan pelayanan publik. Namun rumus yang digunakan masih menggunakan paradigma daratan. Komponen utama DAU:
- jumlah penduduk
- luas wilayah (namun hanya daratan)
- indeks kemahalan konstruksi
- kapasitas fiskal
Dari semua variabel tersebut, tidak satu pun yang menghitung laut, padahal layanan publik di daerah kepulauan justru membutuhkan biaya yang jauh lebih besar.
Beberapa paradoks muncul:
A. 70% Wilayah Indonesia Tidak Masuk Rumus
Luas laut yang seharusnya menjadi variabel strategis—terutama bagi provinsi Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung—tidak dihitung.
B. Biaya Layanan Publik di Daerah Kepulauan Lebih Mahal
Daerah kepulauan membutuhkan transportasi laut, dermaga, kapal, dan logistik yang rumit. Namun anggarannya justru dipukul rata seperti daerah daratan.
C. Infrastruktur Kepulauan Biayanya Lebih Tinggi
Membangun dermaga, menyalurkan BBM, mengirim guru atau tenaga medis ke pulau kecil membutuhkan biaya besar. Tanpa perhitungan berbasis laut, daerah akan selalu kekurangan dana.
D. Ketimpangan Fiskal Struktural
Daerah kepulauan secara otomatis terdiskriminasi, terjebak dalam siklus ketergantungan, dan sulit keluar dari wilayah kemiskinan.
Paradoks ini menunjukkan bahwa negara besar yang hidup dari laut justru membangun dirinya dengan logika daratan. Ini sangat bertentangan dengan visi lagu nasional, geopolitik Nusantara, bahkan amanat UUD 1945 tentang negara kepulauan.
3. Dampak Ekonomi & Pembangunan: Ketika Pulau Kecil Membayar Harga Kebijakan Darat-Sentris
Ketidakadilan fiskal berdampak langsung pada masyarakat di pulau kecil. Daerah kepulauan tidak hanya menghadapi tantangan geografis, tetapi juga tantangan anggaran yang tidak memadai.
A. Ketimpangan Infrastruktur
Transportasi laut, dermaga, dan konektivitas antarpulau membutuhkan biaya tiga kali lipat dibandingkan pembangunan jalan di daratan. Namun alokasi DAU tidak mencerminkan kebutuhan ini.
B. Pelayanan Publik Tidak Optimal
Guru, tenaga medis, dan aparatur sipil membutuhkan biaya transportasi laut, insentif tambahan, dan logistik yang besar. Tanpa dukungan fiskal, pelayanan publik tidak akan maksimal.
C. Daerah Kepulauan Terkurung Kemiskinan Struktural
Tanpa akses pasar, tanpa konektivitas laut yang baik, dan tanpa afirmasi anggaran, pulau kecil akan terus tertinggal.
D. Ketergantungan pada Pusat Semakin Besar
Alih-alih memperkuat otonomi daerah, rumus fiskal yang salah justru membuat daerah kepulauan semakin tergantung pada pusat. Ini bertentangan dengan semangat desentralisasi.
Konsekuensinya: pembangunan daerah pesisir, pulau kecil, dan kawasan timur Indonesia berjalan sangat lambat dibandingkan Jawa dan Sumatera.
4. Perspektif Pakar: Mendesak Beralih dari Land-Based Policy ke Maritime-Based Policy untuk Keadilan Anggaran Nasional
Para pakar sejak dua dekade terakhir telah memperingatkan bahwa Indonesia salah paradigma.
Prof. Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa biaya layanan publik di daerah kepulauan dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi. Jika formula DAU tidak memasukkan luas laut, maka negara membuat ketidakadilan fiskal secara sistemik.
Pakar maritim Dr. Connie Bakrie menekankan bahwa laut adalah “ruang pemersatu dan ruang ekonomi bangsa.” Ketika laut tidak masuk perhitungan anggaran, negara kehilangan identitas strategisnya sebagai negara kepulauan.
Peneliti dari Center for Ocean Policy menyatakan bahwa variabel berikut harus masuk dalam rumus DAU:
- luas wilayah laut
- panjang garis pantai
- jumlah pulau berpenghuni
- tingkat keterpencilan
- indeks logistik laut
- indeks konektivitas antarpulau
Pakar fiskal dan ekonomi pembangunan bahkan menyebut bahwa Indonesia memiliki “fiscal design error” karena tidak menghitung ruang laut sebagai ruang pelayanan publik.
Kesimpulan para ahli: Indonesia harus beralih dari land-based policy ke maritime-based policy. Tidak boleh lagi berpikir seperti negara daratan ketika negara ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia.
5. Rekomendasi Kebijakan: Reformasi DAU untuk Menghormati Makna 'Tanah Air'
Untuk membangun keadilan fiskal dan mengembalikan jati diri Indonesia, berikut rekomendasi konkret:
1. Reformasi Rumus DAU Berbasis Laut
Masukkan variabel:
- luas laut,
- jumlah pulau berpenghuni,
- panjang garis pantai,
- indeks biaya maritim,
- tingkat keterpencilan,
- konektivitas laut.
2. Komponen “Cost of Maritime Public Service”
Biaya layanan publik berbasis laut harus diakui, diukur, dan masuk formula.
3. Afirmasi untuk Pulau-Pulau Kecil
Beri prioritas fiskal bagi kabupaten/kota kepulauan yang memiliki banyak pulau terpencil.
4. Integrasi Kebijakan Lintas Kementerian
Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan KKP harus memiliki satu kerangka fiskal maritim.
5. Menjadikan Laut sebagai Ruang Pelayanan Publik
Laut harus diperlakukan sama pentingnya dengan daratan sebagai ruang anggaran.
Penutup
Indonesia adalah negara besar yang disatukan oleh lautan. Kita diajarkan melalui lagu nasional bahwa Indonesia adalah tanah air—bukan tanah saja. Namun kebijakan fiskal kita, terutama DAU, masih menggunakan paradigma negara daratan. Ketidakadilan fiskal ini membuat daerah kepulauan selalu berada dalam posisi terpinggirkan.
Reformasi DAU berbasis maritim adalah langkah moral, strategis, dan konstitusional. Kebijakan fiskal harus mencerminkan jati diri bangsa. Dengan demikian, Indonesia akan benar-benar menjadi negara yang merata pembangunan, kuat, dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke.
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar