Ada Kelemahan, Ada Potensi, dan Ada Jalan Hidup Menuju Kemuliaan
Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa).
Portal Suara Academia: Al-Qur’an adalah kitab yang bukan hanya memberikan hukum, tetapi juga mengungkap hakikat terdalam dari jiwa manusia. Berulang kali Allah menggambarkan struktur psikologis manusia, kecenderungan-kecenderungannya, serta potensi mulia yang Allah tanamkan. Kajian mengenai sifat manusia ini penting untuk memahami bagaimana manusia bergerak dalam hidup, mengapa mereka jatuh dalam kesalahan, sekaligus bagaimana mereka bisa bangkit menuju derajat kemuliaan.
Dalam perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki dual capacity: fitrah (potensi kebaikan) dan gharizah (naluri yang rawan menyimpang). Karena itu, Al-Qur’an tidak menggambarkan manusia secara hitam-putih, melainkan melalui keseimbangan antara kelemahan dan kekuatan, antara potensi buruk dan kapasitas untuk menjadi lebih baik.
*1. Manusia sebagai Makhluk Zalim dan Bodoh: Analisis Teologis dan Psikologis*
Allah berfirman:
> “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”
(QS. Al-Ahzab: 72)
Kata zhalûm berarti “sangat melampaui batas,” sedangkan jahûl berarti “sangat tidak mengetahui akibat.” Ayat ini muncul setelah Allah menyebut bahwa manusia menerima “amanah” yang langit, bumi, dan gunung enggan memikulnya.
Dalam kajian tafsir, amanah itu berarti:
akal,
kehendak bebas (free will),
tanggung jawab moral,
dan tugas kekhalifahan.
Para ulama seperti Imam Al-Ghazali menyebut bahwa manusia sering zalim karena nafsunya, dan bodoh karena kelalaian dari ilmu. Sementara dalam psikologi modern, manusia disebut memiliki cognitive limitation—batasan akal dalam memahami akibat jangka panjang.
Dengan kata lain, “zalim dan bodoh” bukan sekadar celaan, tetapi diagnosa—manusia mudah salah tanpa bimbingan wahyu.
*2. Manusia Tidak Sabar dan Tidak Puas: Realitas Naluri yang Diatur oleh Syariat*
Allah berfirman:
> “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah.”
(QS. Al-Ma'arij: 19)
“Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah; dan apabila mendapat kebaikan, ia sangat kikir.”
(QS. Al-Ma'arij: 20–21)
Sifat ini dilihat dalam banyak penelitian ilmiah mengenai perilaku manusia: manusia lebih peka terhadap ancaman dibandingkan kenikmatan—dikenal sebagai negativity bias. Ketidakpuasan juga sesuai dengan konsep hedonic treadmill: manusia cepat terbiasa dengan nikmat sehingga mencari lagi dan lagi.
Islam tidak menolak naluri ini, tetapi mengarahkannya:
Sabar sebagai kontrol diri,
Syukur sebagai stabilisator jiwa,
Zakat dan sedekah sebagai regulator kecenderungan kikir,
Doa sebagai titik penyadaran.
Hadis Nabi menegaskan:
> "Sungguh mengagumkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah kebaikan…."
(HR. Muslim)
Artinya, sifat-sifat asal manusia dapat diarahkan menuju kebaikan melalui iman.
*3. Lemah, Lupa, dan Tidak Bersyukur: Keterbatasan yang Membentuk Kerendahan Hati*
Al-Qur’an menyebut:
> “Manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”
(QS. An-Nisa: 28)
Kelemahan ini mencakup:
fisik (rentan sakit),
psikis (mudah stres),
spiritual (mudah goyah).
Dalam QS. Al-A’raf: 51, Allah juga menyebut manusia mudah lupa. Lupa adalah sifat alami, karena itu agama menegaskan pentingnya dzikir (ingatan kepada Allah).
Ketidaksyukuran manusia ditegaskan dalam QS. Al-A’raf: 10:
> “Namun sedikit sekali kamu bersyukur.”
Menariknya, sains modern juga menemukan bahwa manusia cenderung mengingat hal negatif lebih kuat daripada nikmat yang diterima.
Islam datang sebagai korektor memori, mengingatkan kembali posisi manusia di hadapan Allah.
*4. Potensi Besar: Iman, Takwa, dan Akhlak Mulia sebagai Jalan Pengangkatan Derajat*
Setelah menggambarkan kelemahan manusia, Al-Qur’an juga menyebut potensi mulianya. Dalam QS. Al-Hujurat: 13:
> “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.”
Artinya, manusia punya potensi mencapai kemuliaan melalui takwa. Takwa dalam filsafat Islam berarti:
kesadaran penuh akan Allah,
pengendalian diri,
perilaku bermoral,
dan kepekaan sosial.
Potensi akhlak mulia ditegaskan dalam gambaran tentang Nabi Muhammad:
> “Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Manusia bisa mencapai kualitas Nabi bila mengikuti:
wahyu,
pendidikan hati,
pencarian ilmu,
dan latihan moral.
Dalam hadis Nabi:
> “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)
Ini menunjukkan bahwa potensi kebaikan manusia adalah misi utama kenabian.
*5. Al-Qur’an dan Filsafat Kehidupan: Manusia sebagai Makhluk Berproses*
Dalam filsafat kehidupan Islami, manusia bukan makhluk statis, tetapi makhluk yang tumbuh.
Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia melalui tahap:
1. ciptaan yang lemah,
2. uji coba,
3. perjuangan,
4. pemurnian diri,
5. kemuliaan.
Konsep ini disebut tazkiyatun nafs—pembersihan dan pengembangan jiwa.
Allah berfirman:
> “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.”
(QS. Asy-Syams: 9)
Ini adalah dasar filosofi Islam bahwa manusia harus terus:
memurnikan niat,
memperbaiki akhlak,
menguatkan iman,
mengurangi kesombongan,
dan menghadirkan manfaat bagi sesama.
Dengan kata lain, manusia diciptakan untuk berkembang, bukan untuk menyerah kepada sifat asalnya.
*6. Keseimbangan antara Kelemahan dan Potensi: Jalan Tengah yang Al-Qur’an Ajarkan*
Islam memperkenalkan konsep tawazun — keseimbangan antara:
jasmani–rohani,
akal–hati,
dunia–akhirat,
kelemahan–potensi.
Manusia tidak diperintah menjadi malaikat yang sempurna, tetapi manusia yang seimbang. Rasulullah bersabda:
> “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari)
Islam menuntun manusia untuk menerima kelemahan sebagai bagian dari diri, bukan untuk ditolak, tetapi untuk diperbaiki.
*7. Doa Sebagai Penguat Jiwa: Jalan Spiritual Mengatasi Kelemahan Manusia*
Doa adalah dialog antara hamba yang lemah dengan Rabb yang Maha Kuat. Rasulullah mengajarkan doa yang menggambarkan hakikat manusia:
> “Dengan nama-Mu kami hidup dan dengan nama-Mu kami mati.”
(HR. Bukhari)
Doa Anda:
“Ya Allah, dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi langit dan bumi, lindungilah kami…”
Adalah doa yang mencerminkan pengakuan bahwa manusia tidak mampu bertahan tanpa perlindungan Allah.
Doa juga punya efek psikologis:
menenangkan,
menurunkan kecemasan,
memperbaiki fokus,
meningkatkan ketahanan emosi.
Spiritualitas menjadi obat jiwa bagi manusia yang lemah dan mudah gelisah.
*Kesimpulan:* Manusia dalam Al-Qur’an adalah Makhluk Harapan
Al-Qur’an menggambarkan manusia dengan sangat realistis: makhluk yang penuh kelemahan, namun juga penuh potensi. Kelemahan itu bukan untuk merendahkan manusia, tetapi agar ia tidak sombong. Potensi kebaikan itu bukan untuk disombongkan, tetapi agar ia terus berusaha.
Dalam Islam, manusia bukan diukur dari kesempurnaannya, tetapi dari perjuangannya. Jalan menuju kemuliaan terbuka bagi siapa pun melalui:
- iman,
- takwa,
- akhlak mulia,
- ilmu,
- dan kesadaran diri.
Inilah filsafat hidup Islam: manusia adalah makhluk yang diuji, dibimbing, dan diberi ruang untuk mencapai derajat tertinggi di sisi Allah. (Obasa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar