Abu Nawas dan Raja yang Tamak, Pelajaran Tentang Keserakahan Raja
Oleh : Basa Alim Tualeka (Obasa).
Puisi :
"Harta yang Tak Bernilai"
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Pada zaman kekhalifahan, Raja Harun Al-Rasyid dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan berwibawa. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai terobsesi dengan kekayaan. Setiap hari, ia memerintahkan bendahara kerajaan untuk mengumpulkan lebih banyak pajak dari rakyatnya dan menyimpannya di gudang emas istana.
Meskipun kekayaannya terus bertambah, sang Raja tetap merasa kurang. Ia ingin memiliki lebih banyak emas, lebih banyak perak, dan lebih banyak permata. Rakyat pun mulai mengeluh karena pajak yang terlalu tinggi membuat mereka hidup dalam kesulitan.
Kabar mengenai keserakahan Raja ini sampai ke telinga Abu Nawas, seorang penasihat istana yang terkenal dengan kecerdikannya. Melihat keadaan ini, Abu Nawas merasa perlu memberi pelajaran kepada Raja agar menyadari bahwa harta yang berlimpah tidak akan membawa kebahagiaan jika digunakan hanya untuk kepentingan pribadi.
Abu Nawas Menawarkan Solusi
Suatu hari, Abu Nawas menghadap Raja dan berkata, "Tuanku, hamba mendengar bahwa Baginda ingin memiliki lebih banyak harta. Jika Baginda mengizinkan, hamba bisa menunjukkan cara mendapatkan kekayaan yang tidak akan pernah habis."
Sang Raja yang tamak segera tertarik dan bertanya, "Bagaimana caranya, Abu Nawas? Aku ingin menjadi raja terkaya di dunia!"
Abu Nawas tersenyum dan menjawab, "Caranya sederhana, Tuanku. Baginda hanya perlu mengumpulkan seluruh harta benda kerajaan di satu tempat. Setelah itu, hamba akan membaca mantra ajaib yang akan membuat kekayaan Baginda bertambah tanpa batas."
Sang Raja begitu bersemangat mendengar ide ini. Tanpa berpikir panjang, ia segera memerintahkan semua pengawal dan bendahara kerajaan untuk membawa seluruh emas, perak, dan permata ke sebuah ruangan besar di istana. Para pengawal bekerja sepanjang hari hingga akhirnya seluruh kekayaan kerajaan terkumpul di dalam ruangan tersebut.
Setelah semuanya siap, Abu Nawas berkata, "Sekarang, Baginda harus masuk ke dalam ruangan ini dan menguncinya dari dalam. Setelah itu, hamba akan membaca mantra yang akan menggandakan harta Baginda."
Tanpa ragu sedikit pun, Raja masuk ke dalam ruangan penuh harta itu dan mengunci pintu dari dalam. Ia menunggu dengan penuh harapan, membayangkan bagaimana emas dan permatanya akan bertambah berkali-kali lipat.
Sang Raja Terjebak dalam Keserakahannya Sendiri
Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada mantra yang dibacakan oleh Abu Nawas. Ia mulai merasa curiga dan bertanya, "Abu Nawas, kenapa kau diam? Cepat bacakan mantra itu!"
Dari luar pintu, Abu Nawas menjawab, "Baginda, sekarang Baginda memiliki semua harta yang Baginda inginkan. Bukankah ini yang Baginda idam-idamkan?"
Sang Raja terkejut. "Apa maksudmu? Aku ingin harta ini bertambah, bukan hanya mengurung diri di dalam sini!"
Abu Nawas tersenyum dan berkata, "Tuanku, sekarang Baginda sudah memiliki semua harta, tetapi apakah Baginda bisa menikmati hidup dalam ruangan sempit itu? Apakah emas dan permata bisa membuat Baginda bahagia jika tidak bisa keluar dan bersama rakyat?"
Sang Raja terdiam. Ia mulai memahami bahwa semua kekayaan yang ia miliki tidak ada gunanya jika ia tidak bisa menikmati kebebasan. Ia juga menyadari bahwa selama ini ia hanya menimbun kekayaan tanpa memikirkan rakyatnya yang menderita.
Setelah beberapa saat merenung, akhirnya Raja mengetuk pintu dan berkata dengan nada rendah, "Abu Nawas, aku telah mengerti kesalahanku. Bukakan pintu ini, aku berjanji tidak akan tamak lagi."
Abu Nawas pun membuka pintu. Sang Raja keluar dengan wajah yang lebih tenang dan penuh kesadaran. Ia kemudian memerintahkan bendahara kerajaan untuk mengurangi pajak rakyat dan menggunakan sebagian kekayaannya untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Sejak hari itu, Raja Harun Al-Rasyid menjadi pemimpin yang lebih adil dan bijaksana. Ia tidak lagi terobsesi dengan harta, melainkan fokus pada kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya.
Pesan Moral:
1. Keserakahan hanya akan membawa penderitaan.
Jika seseorang terlalu tamak, ia justru bisa kehilangan kebahagiaan dan kebebasannya sendiri.
2. Harta tidak ada gunanya jika tidak digunakan untuk kebaikan.
Kekayaan yang hanya dikumpulkan tanpa dibagikan atau dimanfaatkan tidak akan membawa kebahagiaan sejati.
3. Seorang pemimpin harus mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan hanya menimbun kekayaan.
Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab utama seorang pemimpin, bukan hanya kepentingan pribadi.
4. Kebijaksanaan lebih berharga daripada emas dan perak.
Seorang yang bijak tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari harta, tetapi dari bagaimana ia menjalani hidupnya.
Dengan kecerdasannya, Abu Nawas sekali lagi berhasil memberi pelajaran yang berharga kepada Raja dan rakyatnya. Kisah ini pun menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kekayaan sejati bukanlah berapa banyak harta yang kita miliki, melainkan bagaimana kita menggunakannya untuk kebaikan. (Alim Academia)
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar