Minggu, 02 Februari 2025

MAKNA, SEJARAH, DAN RELEVANSI GELAR "UPU LATU NUSA BARAKATE" DALAM KONTEKS ISLAM DAN ERA MODERN

Makna, Sejarah, dan Relevansi Gelar "Upu Latu Nusa Barakate" dalam Konteks Islam dan Era Modern

Oleh : Basa Alim Tualeka (Obasa).


Puisi :

"Upu Latu Nusa Barakate"

Di tanah Maluku, laut membentang,
Angin berbisik dalam nyanyian senjang.
Di negeri Pelauw, tegak berdiri,
Seorang pemimpin, penjaga negeri.

Namanya harum di dada rakyat,
Dengan kebijaksanaan, negeri selamat.
Upu Latu, raja yang bijak,
Menjaga adat, tak pernah goyah.

Namun ingat, wahai manusia,
Hormat padanya jangan berlebih jua.
Sebab kuasa milik Sang Esa,
Hanya pada-Nya kita berserah.

Di zaman modern, dunia terbuka,
Teknologi canggih, ilmu merata.
Namun adat janganlah hilang,
Akar budaya tetap dikenang.

Wahai pemimpin, wahai rakyat,
Berjalanlah dalam hikmat dan syariat.
Dengan adil, dengan bijaksana,
Agar negeri selalu sejahtera.


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Gelar "Upu Latu Nusa Barakate" merupakan bagian dari sistem kepemimpinan tradisional di Maluku, khususnya di Negeri Pelauw. Secara etimologis, gelar ini memiliki makna sebagai "Raja Negeri yang Diberkati", yang mencerminkan otoritas dan tanggung jawab seorang pemimpin adat. Dalam perspektif Islam, penghormatan terhadap pemimpin harus berada dalam batas yang tidak menyalahi prinsip tauhid, agar tidak mengarah pada syirik. Oleh karena itu, hubungan antara pemimpin dan masyarakat harus tetap dalam koridor yang sesuai dengan ajaran Islam.

Di era modern, kepemimpinan tradisional seperti "Upu Latu Nusa Barakate" masih memiliki relevansi dalam mempertahankan identitas budaya, tetapi perlu beradaptasi dengan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan berbasis teknologi. Konsep kepemimpinan adat dapat tetap eksis dengan menyesuaikan diri terhadap prinsip keadilan, musyawarah, dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, kepemimpinan adat perlu menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional, ajaran agama, dan kebutuhan modernisasi agar tetap relevan dalam perkembangan global.

Jadi, Gelar "Upu Latu Nusa Barakate" memiliki arti penting dalam struktur adat masyarakat Maluku, khususnya di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Gelar ini tidak hanya mencerminkan sistem kepemimpinan tradisional tetapi juga memiliki dimensi sosial, budaya, dan spiritual yang kuat dalam kehidupan masyarakat setempat. Namun, dalam konteks Islam, penggunaan gelar ini harus diperhatikan agar tidak menimbulkan unsur syirik. Selain itu, di era modern yang penuh dengan transformasi teknologi dan komunikasi, muncul pertanyaan mengenai relevansi sistem kepemimpinan tradisional seperti ini dalam tata kelola pemerintahan dan masyarakat masa kini.


Makna dan Arti Gelar "Upu Latu Nusa Barakate"

Secara etimologis, gelar ini terdiri dari beberapa kata dalam bahasa lokal Maluku:

Upu → berarti "Tuan" atau "Pemimpin".

Latu → berarti "Raja" atau "Penguasa".

Nusa → berarti "Pulau" atau "Negeri".

Barakate → berarti "Berkat" atau "Diberkati".

Dengan demikian, "Upu Latu Nusa Barakate" dapat diartikan sebagai "Raja Negeri yang Diberkati". Gelar ini menunjukkan kedudukan tertinggi seorang pemimpin dalam sistem adat Hatuhaha, yang dipercaya membawa berkah dan kesejahteraan bagi rakyatnya.


Sejarah Penggunaan Gelar "Upu Latu Nusa Barakate"

Menurut catatan sejarah, gelar ini diberikan oleh Kapitan Ismail Akipai, yang mengangkat Ronerusun Marapaika (Matasiri) sebagai kepala adat Hatuhaha Amarima Lounusa dengan sebutan "Latu Nusa Barakate". Jabatan ini memiliki kedudukan tertinggi di Jazirah Uli Hatuhaha, yang hingga kini masih dipertahankan dalam struktur adat sebagai Ketua Latu Pati.

Namun, belum ditemukan catatan pasti mengenai kapan gelar ini pertama kali digunakan secara resmi dalam sejarah Maluku. Yang jelas, gelar ini sudah digunakan secara turun-temurun dalam struktur adat sebagai bagian dari sistem kepemimpinan tradisional.


Perspektif Islam terhadap Gelar dan Kepemimpinan Upu Latu Nusa Barakate

Dalam Islam, kepemimpinan harus didasarkan pada keadilan, musyawarah (syura), dan kesejahteraan umat. Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab untuk memimpin rakyatnya berdasarkan prinsip tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak.


Potensi Syirik dalam Penghormatan terhadap Pemimpin

Syirik adalah dosa besar dalam Islam yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Dalam konteks pemimpin adat seperti "Upu Latu Nusa Barakate", penghormatan terhadap pemimpin harus berada dalam batas yang wajar. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar penghormatan ini tidak mengarah pada syirik:

  1. Tidak menganggap pemimpin memiliki kekuatan supranatural atau sifat-sifat ketuhanan.
  2. Tidak meminta berkah atau keselamatan dari pemimpin, tetapi hanya kepada Allah.
  3. Tidak mengkultuskan pemimpin secara berlebihan hingga mengesampingkan nilai-nilai Islam.

Penghormatan kepada pemimpin dalam Islam diperbolehkan selama dalam batas yang wajar dan tidak melampaui ajaran tauhid.


Relevansi Gelar Upu Latu Nusa Barakate di Era Modern

1. Menjaga Identitas Budaya dan Adat

Meskipun dunia telah berkembang ke arah modernisasi, penggunaan gelar tradisional seperti "Upu Latu Nusa Barakate" tetap memiliki nilai penting dalam menjaga identitas budaya. Gelar ini bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga mencerminkan sejarah dan nilai-nilai masyarakat Maluku.


2. Adaptasi dengan Prinsip Kepemimpinan Modern

Dalam sistem pemerintahan modern yang berbasis demokrasi dan teknologi, kepemimpinan tradisional harus beradaptasi dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Model kepemimpinan adat seperti "Upu Latu Nusa Barakate" dapat tetap relevan dengan beberapa penyesuaian:

  • Pemimpin adat harus bekerja sama dengan pemerintahan modern untuk memastikan kesejahteraan masyarakatnya. 

  • Sistem kepemimpinan berbasis adat harus lebih inklusif dan demokratis, sesuai dengan tuntutan zaman. 

  • Penerapan teknologi dalam tata kelola pemerintahan adat untuk memudahkan komunikasi dan administrasi.


3. Pandangan Ilmuwan terhadap Sistem Kepemimpinan Tradisional

Banyak ilmuwan sosial berpendapat bahwa kepemimpinan tradisional dapat tetap relevan dalam sistem pemerintahan modern jika mampu beradaptasi. Pemimpin adat bisa berfungsi sebagai penjaga budaya dan mediator sosial, sementara pemerintahan formal tetap menjalankan fungsi administratif dan politik.

Salah satu contoh negara yang berhasil mengakomodasi sistem kepemimpinan tradisional dalam sistem modern adalah Malaysia, yang memiliki Sistem Monarki Konstitusional di mana raja-raja tradisional tetap memiliki peran dalam pemerintahan.


Kesimpulan

Gelar "Upu Latu Nusa Barakate" memiliki nilai historis, budaya, dan sosial yang mendalam dalam masyarakat Maluku. Namun, dalam Islam, penghormatan terhadap pemimpin adat harus tetap berada dalam batas-batas tauhid agar tidak mengarah pada syirik.

Di era modern, sistem kepemimpinan tradisional harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, transparan, dan berbasis teknologi, kepemimpinan adat seperti "Upu Latu Nusa Barakate" masih dapat memainkan peran penting dalam menjaga identitas budaya dan kesejahteraan masyarakat. (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini