Kamis, 03 Juli 2025

PERKOSAAN DI TENGAH KERUSUHAN 1998 : KEJAHATAN OKNUM, BUKAN KEJAHATAN MASSAL

Perkosaan di Tengah Kerusuhan 1998: Kejahatan Oknum, Bukan Kejahatan Massal

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa) 


Puisi: 

"Luka di Tengah Kerusuhan"

Dalam keributan kota yang membara,
Asap membumbung, teriak membelah langit,
Tangis perempuan hilang di lorong gelap,
Tubuh-tubuh gemetar, malu, takut.

Bila ada yang mengoyak harga diri,
Itulah oknum, manusia kejam,
Ia sendiri menanggung dosanya,
Bukan serentak, bukan rame-rame, bukan massal.

Kerusuhan adalah amarah kolektif,
Tapi perkosaan adalah niat busuk pribadi,
Jangan kau samakan semuanya,
Jangan hukum yang tak bersalah.

Kita menangis untuk korban yang sunyi,
Yang tak sanggup bersuara,
Yang membawa luka seumur hidup,
Mereka layak didengar, layak dibela.

Namun adil itu menimbang bukti,
Adil itu tak menuduh sembarangan,
Yang bersalah harus dihukum,
Yang tak bersalah jangan dihakimi.

Mari kita jujur pada sejarah,
Mengaku salah bila memang salah,
Tapi jangan menodai yang benar,
Dengan kebohongan yang sengaja dibesar.

Karena keadilan bukan untuk satu pihak,
Tapi untuk semua yang tersakiti,
Korban kekerasan, korban fitnah,
Agar kita semua belajar:
Jangan ulangi luka bangsa. (Obasa). 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Perkosaan adalah kejahatan yang kejam dan memalukan. Sejak dahulu hingga sekarang, tindak pemerkosaan selalu terjadi di mana-mana: di masa damai, di kala keributan, kerusuhan, bahkan di saat perang.

Satu hal yang perlu kita pahami: pada dasarnya perkosaan adalah kejahatan individu. Itu dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang terhadap korban, tapi bukan perbuatan “ramai-ramai bersama-sama” yang dilakukan secara massal seperti dalam kerumunan satu lokasi.


Kerusuhan Mei 1998 dan Tuduhan Pemerkosaan

Pada 13–15 Mei 1998, Indonesia mengalami kerusuhan hebat. Jakarta dan beberapa kota lain dilanda penjarahan, pembakaran, dan kekerasan bernuansa rasial, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa.

Di tengah suasana kacau itu muncul kabar mengerikan: ada pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Isu ini cepat menyebar dan memicu kemarahan masyarakat. Banyak media internasional menyoroti Indonesia sebagai negara yang gagal melindungi warganya.

Namun sampai hari ini, persoalan itu tetap kontroversial:

  • Apakah benar ada pemerkosaan dalam kerusuhan itu?
  • Kalau ada, apakah jumlahnya puluhan, ratusan, ribuan?
  • Apakah itu dilakukan secara “massal” seperti istilah yang beredar?


Penyelidikan Resmi: Fakta dan Keterbatasan

Presiden BJ Habibie saat itu membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 untuk menyelidiki kerusuhan Mei.


Hasilnya?

✅ TGPF mengakui adanya laporan perkosaan.

✅ Namun, jumlah korban yang mau bersaksi sangat sedikit.

✅ Bukti hukum formal sangat terbatas.

✅ Banyak korban yang takut, trauma, atau malu sehingga enggan melapor.

Tidak ada pengadilan yang membuktikan adanya skema terorganisir untuk melakukan pemerkosaan secara massal. Data resmi tidak pernah mencatat ratusan atau ribuan korban.


Kenapa Disebut “Pemerkosaan Massal”?

Di sinilah sering muncul salah paham. Banyak orang membayangkan “pemerkosaan massal” itu seperti sekumpulan orang memperkosa satu korban di tempat yang sama. Itu bukan maksud istilah tersebut.

Beberapa lembaga HAM dan peneliti memakai istilah “massal” untuk menjelaskan pola seperti ini:

  • Ada banyak kejadian pemerkosaan dalam waktu yang berdekatan.
  • Terjadi di lokasi-lokasi berbeda pada konteks kerusuhan yang sama.
  • Menyasar kelompok etnis tertentu sebagai bagian dari teror.

Dengan kata lain, massal di sini bukan berarti satu kerumunan melakukan aksi serentak, melainkan banyak tindakan kejahatan serupa yang terjadi di banyak tempat.


Pandangan Ahli

Berikut beberapa pendapat yang sering dikutip untuk mendukung penggunaan istilah “massal”:

✅ Dr. Elisabeth Jean Wood (Yale University):

“Pemerkosaan massal bukan berarti kerumunan memperkosa serentak. Artinya, perkosaan terjadi secara meluas atau sistematis dalam konteks konflik.”


✅ Catharine MacKinnon (Harvard Law):

“Sering kali, perkosaan massal adalah strategi terorganisir dalam perang atau kekerasan komunal.”


✅ Kelly Askin (Mahkamah Internasional untuk Yugoslavia):

“Menuntut pemerkosaan massal berarti memahami pola terorganisir meski pelakunya individu.”


Jadi bagi mereka, “massal” artinya pola yang terulang dan meluas pada waktu singkat.


Pandangan Berbeda: Itu Kejahatan Oknum

Meski demikian, banyak pihak di Indonesia memegang pandangan lain yang lebih sederhana:

  • Perkosaan adalah kejahatan pribadi, dilakukan oknum.
  • Tidak ada bukti hukum atau putusan pengadilan yang membenarkan adanya rencana atau pola sistematis berskala luas.
  • Kalau ada korban, itu adalah tragedi yang harus diusut secara adil—tapi pelakunya tetap individu.
  • Menyebut “massal” bisa menyesatkan atau menstigma seluruh kelompok.


Dengan sudut pandang ini:

Perkosaan pada 1998, jika benar ada, adalah kejahatan oknum tertentu. Bukan kejahatan massal atau kolektif yang terencana.


Mengapa Sulit Dibuktikan?

✅ Korban mengalami trauma berat.

✅ Ada rasa malu dan takut stigma.

✅ Aparat penegak hukum saat itu dinilai belum mampu memberi perlindungan maksimal.

✅ Isu rasial membuat suasana makin sensitif.

Karena itu laporan resmi sangat minim. Hal ini dipakai sebagian orang untuk menyangkal sama sekali, sementara yang lain menganggap itu bukti negara gagal mendengar korban.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

✅ Bersikap adil dan proporsional.

✅ Mengakui kerusuhan 1998 sebagai tragedi nasional yang menyakitkan.

✅ Menolak rasisme dan kekerasan komunal.

✅ Jika memang ada korban perkosaan, menuntut pelaku individu diproses hukum secara adil.

✅ Tidak memukul rata tuduhan atau menuduh tanpa bukti yang sah.


Kesimpulan

Perkosaan adalah tindak kejahatan pribadi atau oleh oknum.

Dalam konteks kerusuhan, bisa saja terjadi lebih banyak karena situasi kacau, tapi itu tetap kejahatan individu.

Istilah “massal” yang dipakai sebagian pihak lebih bermakna “meluas” daripada “ramai-ramai di satu lokasi”.

Untuk kerusuhan Mei 1998, bukti resmi jumlah korban sangat terbatas, dan negara harus menegakkan hukum untuk kasus nyata yang terbukti.

Yang penting, kita tetap mendengar korban yang mau bersuara, sambil menolak politisasi dan generalisasi yang menyesatkan.


Penutup

“Kalau memang ada perkosaan pada kerusuhan 1998, itu adalah tragedi yang harus kita tangisi. Tapi kita perlu jelas: itu adalah kejahatan oknum, bukan kejahatan massal terencana. Keadilan menuntut kita bersikap jernih, bukan membesar-besarkan atau menutupi.”


Referensi Populer:

  • TGPF Peristiwa 13–15 Mei 1998.
  • Komnas Perempuan (laporan 1998–2003).
  • Rome Statute of the ICC (1998).
  • Elisabeth Jean Wood, Sexual Violence during War (2006).
  • Kelly Askin, War Crimes Against Women (1997).


Lampiran :

✅ Rekomendasi untuk Meluruskan Sejarah yang Benar tentang Isu Perkosaan 1998

1️⃣ Akui Kerusuhan 1998 sebagai Tragedi Nasional

Jangan menutupi fakta bahwa kerusuhan Mei 1998 adalah kekerasan sosial besar.

Banyak korban meninggal, harta dijarah, etnis tertentu menjadi sasaran.

Ini luka sejarah yang harus diingat supaya tidak terulang.


✅ Kita perlu sepakat bahwa kerusuhan itu nyata dan menyakitkan.

2️⃣ Bedakan dengan Jelas: Kekerasan Massa vs Kejahatan Pribadi

Kerusuhan dan penjarahan memang dilakukan massa.

Tapi perkosaan adalah tindak kejahatan individual atau oknum.

Istilah “pemerkosaan massal” perlu dijelaskan dengan tepat agar tak menyesatkan: bukan rame-rame memperkosa bersama-sama, melainkan banyak kasus terjadi di periode sama (kalau memang terbukti).


✅ Jangan menyamaratakan kesalahan individu ke seluruh kelompok.

3️⃣ Dorong Penelitian Serius dan Terbuka

Bangun riset ilmiah, sejarah lisan, arsip media, laporan NGO.

Libatkan lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, kampus, sejarawan.

Beri ruang untuk korban bersuara tanpa dipaksa atau diintimidasi.

Kumpulkan bukti hukum secara serius.


✅ Sejarah tak bisa diluruskan dengan rumor. Ia perlu bukti.

4️⃣ Hentikan Politisasi dan Sensasi

Jangan gunakan isu perkosaan untuk propaganda politik atau menyudutkan etnis.

Jangan juga membungkam orang yang benar-benar jadi korban.

Bahas dengan empati, bukan dengan emosi dan tuduhan liar.


✅ Sejarah perlu ditulis dengan hati-hati dan adil.

5️⃣ Tegakkan Hukum untuk Pelaku Nyata

Kalau ada bukti jelas pelaku perkosaan, proses di pengadilan.

Jangan biarkan trauma korban diabaikan.

Tapi juga jangan menuduh orang tak bersalah tanpa bukti.


✅ Keadilan hanya tercapai jika kita tegas pada bukti dan proses hukum.

6️⃣ Bangun Pendidikan Publik yang Kritis

Masukkan kerusuhan 1998 ke pelajaran sejarah dengan jujur.

Ajarkan anak muda tentang bahaya rasisme dan kekerasan komunal.

Jelaskan perbedaan kekerasan massa dengan kejahatan individual.


✅ Generasi baru perlu belajar tanpa kebohongan.

7️⃣ Rawat Rekonsiliasi dengan Empati

Dengarkan semua pihak, terutama korban.

Akui penderitaan mereka tanpa prasangka.

Jangan menambah luka dengan fitnah atau penyangkalan total.


✅ Bangsa ini hanya bisa maju jika berani mengakui kebenaran—apa pun bentuknya.


Kesimpulan Rekomendasi

✔️ Akui kerusuhan 1998 sebagai tragedi nasional.

✔️ Bedakan tindakan massa dengan kejahatan oknum.

✔️ Kumpulkan bukti sejarah dengan serius dan jujur.

✔️ Hentikan politisasi dan fitnah.

✔️ Proses pelaku nyata secara hukum.

✔️ Ajarkan sejarah yang benar dan adil.

✔️ Rawat rekonsiliasi dengan empati.

“Meluruskan sejarah bukan berarti membuka luka lama untuk menyakiti lagi. Meluruskan sejarah adalah merawat luka agar sembuh dengan benar—agar bangsa ini belajar dan tak mengulang kesalahan yang sama.” (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini