Minggu, 28 September 2025

EVALUASI TOTAL TERHADAP KEBIJAKAN PELAKSANAAN MAKANAN BERGIZI GRATIS (MBG): ANALISIS MODEL ALTERNATIF UNTUK TATA KELOLA YANG EFEKTIF, TRANSPARAN, DAN BERKELANJUTAN

Evaluasi Total terhadap Kebijakan Pelaksanaan Makanan Bergizi Gratis (MBG): Analisis Model Alternatif untuk Tata Kelola yang Efektif, Transparan,  Berkelanjutan

Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)


A. Abstrak

Portal Suara Academia: Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu kebijakan strategis pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas gizi peserta didik, menurunkan prevalensi stunting, dan mend

ukung pengembangan sumber daya manusia berdaya saing. Meskipun gagasan ini progresif, implementasinya di berbagai daerah memperlihatkan sejumlah persoalan mendasar, mulai dari inefisiensi distribusi, kualitas gizi yang tidak merata, potensi kebocoran anggaran, hingga minimnya partisipasi masyarakat. Artikel ini berupaya melakukan evaluasi total terhadap kebijakan MBG dengan menggunakan kerangka analisis kebijakan publik. Metode yang digunakan adalah studi literatur, evaluasi kebijakan berdasarkan kriteria Dunn (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesetaraan, responsivitas, kelayakan), serta analisis perbandingan internasional dengan program serupa di Brasil, India, Jepang, dan Amerika Serikat.

Hasil kajian menunjukkan bahwa model penyediaan makanan secara masal tidak mampu menjamin efektivitas dan keberlanjutan. Alternatif yang lebih menjanjikan adalah skema penyaluran dana langsung kepada orang tua melalui kupon digital, pengelolaan mandiri oleh sekolah, kemitraan dengan penyedia lokal (UMKM, koperasi, warung sehat), serta digitalisasi pemantauan berbasis aplikasi. Artikel ini menegaskan pentingnya diversifikasi model pelaksanaan MBG, keterlibatan komunitas, serta regulasi tata kelola yang transparan dan akuntabel agar tujuan kebijakan benar-benar tercapai.

Kata Kunci: Makanan Bergizi Gratis, kebijakan publik, gizi anak, tata kelola, pendidikan, keberlanjutan


B. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Masalah gizi anak merupakan tantangan global yang hingga kini menjadi fokus organisasi internasional seperti WHO, UNICEF, dan FAO. Kekurangan gizi kronis (stunting) tidak hanya berdampak pada kondisi fisik anak, tetapi juga memengaruhi perkembangan kognitif, prestasi akademik, dan produktivitas di masa depan. Data UNICEF (2023) menunjukkan bahwa hampir 148 juta anak di seluruh dunia masih mengalami stunting, sementara 45 juta anak mengalami wasting.

Indonesia menghadapi beban ganda malnutrisi. Di satu sisi, prevalensi stunting nasional masih berada pada angka 21,6% (SSGI, 2022), yang berarti sekitar satu dari lima anak Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan. Di sisi lain, terdapat tren peningkatan obesitas anak akibat konsumsi makanan tidak sehat dan gaya hidup kurang aktif. Kedua kondisi ini berimplikasi serius terhadap kualitas generasi mendatang dan kemampuan bangsa bersaing secara global.

Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bagi peserta didik sekolah dasar hingga menengah. Program ini dirancang sebagai intervensi gizi sekaligus kebijakan pendidikan, dengan tujuan menjamin anak-anak memperoleh asupan makanan bergizi setiap hari sekolah. Secara konseptual, kebijakan ini merupakan langkah maju karena menempatkan gizi sebagai bagian integral dari pembangunan sumber daya manusia.

Namun demikian, realitas implementasi di lapangan menunjukkan bahwa program MBG tidak berjalan sesuai harapan. Banyak daerah melaporkan terjadinya keterlambatan distribusi, penyediaan makanan dalam jumlah besar yang tidak sesuai standar, hingga kasus makanan basi yang membahayakan kesehatan siswa. Sistem pengadaan terpusat dengan kontrak vendor besar seringkali menimbulkan persoalan inefisiensi, kurangnya pengawasan, serta potensi penyalahgunaan anggaran.

Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: apakah model penyediaan makanan secara masal merupakan cara terbaik untuk menjamin gizi anak? Apakah tidak ada alternatif lain yang lebih efektif, transparan, dan berkelanjutan?


2. Pentingnya Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik menjadi sangat krusial untuk memastikan bahwa tujuan program sejalan dengan hasil implementasi di lapangan. Menurut Dunn (2003), evaluasi kebijakan perlu mempertimbangkan enam aspek utama: efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesetaraan, responsivitas, dan kelayakan. Dengan kerangka ini, kita dapat mengukur sejauh mana MBG mampu mencapai tujuannya, seberapa besar manfaat yang diperoleh dibandingkan biaya yang dikeluarkan, serta bagaimana penerimaan masyarakat terhadap program tersebut.

Selain itu, evaluasi ini penting karena MBG bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi juga bagian dari visi besar pembangunan nasional: mencetak generasi emas Indonesia 2045. Apabila pengelolaan MBG tidak tertata sejak awal, maka program ini berpotensi hanya menjadi proyek politik jangka pendek yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan gizi dan pendidikan anak bangsa.


3. Gap Penelitian dan Urgensi Kajian

Kajian akademik terkait program makanan bergizi di sekolah sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai negara. Misalnya, penelitian tentang Mid-Day Meal Scheme di India yang menyoroti peran komunitas lokal, atau National School Lunch Program di Amerika Serikat yang menekankan standar gizi nasional. Namun, kajian di Indonesia masih sangat terbatas, terutama dalam melihat kelemahan model penyediaan masal serta mencari alternatif skema distribusi yang lebih kontekstual.

Artikel ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut dengan menawarkan analisis menyeluruh mengenai kelemahan implementasi MBG sekaligus mengajukan model alternatif yang lebih tertib, akuntabel, dan berkesinambungan.


4. Tujuan Penelitian

Artikel ini bertujuan untuk:

1. Melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan program MBG di Indonesia.

2. Mengidentifikasi kelemahan model penyediaan makanan secara masal.

3. Menawarkan alternatif model pelaksanaan MBG, termasuk skema penyaluran dana langsung kepada orang tua, pengelolaan mandiri oleh sekolah, kemitraan dengan penyedia lokal, serta digitalisasi berbasis teknologi.

4. Memberikan rekomendasi kebijakan untuk tata kelola MBG yang efektif, transparan, dan berkelanjutan.


5. Manfaat Kajian

Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada tiga level:


Teoretis, sebagai kontribusi akademik dalam kajian kebijakan publik, khususnya pada sektor gizi dan pendidikan.


Praktis, sebagai masukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam memperbaiki tata kelola MBG.


Sosial, sebagai inspirasi bagi masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan dan pelaksanaan program.


C. Metodologi Penelitian


Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan fokus pada evaluasi kebijakan publik. Tujuannya bukan sekadar mendeskripsikan fenomena, melainkan menganalisis secara mendalam faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia.


1. Sumber Data


Data Primer: hasil pengamatan lapangan terbatas, laporan media terkait pelaksanaan MBG di berbagai daerah.


Data Sekunder: jurnal internasional (Scopus, Web of Science), laporan UNICEF, FAO, WHO, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta regulasi nasional (Perpres, Permendikbud, APBN).


2. Kerangka Analisis


Artikel ini menggunakan model evaluasi kebijakan Dunn (2003) yang meliputi:


1. Efektivitas: sejauh mana kebijakan MBG mencapai tujuan perbaikan gizi anak.


2. Efisiensi: perbandingan antara manfaat yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan.


3. Kecukupan: apakah kebijakan mampu mengatasi masalah gizi secara substansial.


4. Kesetaraan: distribusi manfaat antarwilayah dan kelompok sosial.


5. Responsivitas: sejauh mana program menjawab kebutuhan masyarakat.


6. Kelayakan: apakah program dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.


3. Teknik Analisis


Analisis dilakukan dalam tiga tahap:


1. Deskripsi: menggambarkan kondisi pelaksanaan MBG di lapangan.


2. Evaluasi: menilai kelebihan dan kelemahan berdasarkan enam kriteria Dunn.


3. Perbandingan Internasional: membandingkan MBG dengan program sejenis di Brasil, India, Amerika Serikat, dan Jepang.


D. Hasil dan Pembahasan


1. Potret Pelaksanaan MBG di Indonesia


Pelaksanaan MBG secara umum mengadopsi model penyediaan makanan masal melalui vendor yang ditunjuk pemerintah daerah. Mekanisme ini tampak sederhana: pemerintah pusat menyediakan anggaran, daerah melakukan tender, penyedia memasak dalam jumlah besar, lalu makanan didistribusikan ke sekolah-sekolah.


Namun, mekanisme ini memunculkan berbagai persoalan:


Distribusi lambat: makanan harus diantar dari dapur terpusat ke puluhan sekolah, seringkali tiba dalam kondisi dingin bahkan basi.


Menu tidak sesuai kebutuhan lokal: makanan standar nasional kadang tidak cocok dengan budaya atau selera anak di daerah tertentu.


Kualitas gizi meragukan: vendor cenderung menekan biaya produksi sehingga kandungan gizi tidak optimal.


Potensi korupsi: sistem tender besar membuka peluang kolusi dan penggelembungan biaya.


Makanan terbuang: banyak siswa tidak menghabiskan makanan karena tidak sesuai selera.


Dengan kata lain, model penyediaan masal tidak menjawab persoalan mendasar gizi anak, justru menambah persoalan baru di lapangan.


2. Analisis Berdasarkan Kriteria Dunn


2.1. Efektivitas

Tujuan utama MBG adalah meningkatkan gizi anak sekolah. Namun, efektivitasnya masih dipertanyakan karena makanan sering tidak dimakan siswa. Banyak laporan menunjukkan makanan dibuang, artinya asupan gizi tidak tercapai.



2.2. Efisiensi

Penyediaan makanan masal memerlukan biaya transportasi, logistik, dan pengawasan besar. Biaya tinggi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.


2.3. Kecukupan

Program ini belum cukup menjawab persoalan stunting karena pelaksanaannya tidak merata dan kualitas gizi makanan tidak konsisten.


2.4. Kesetaraan

Sekolah di kota relatif mudah dijangkau vendor, tetapi di daerah terpencil distribusi sulit. Akibatnya, ketimpangan antarwilayah semakin besar.


2.5. Responsivitas

Orang tua dan masyarakat kurang dilibatkan. Banyak yang merasa program hanya proyek pemerintah tanpa ruang partisipasi warga.


2.6. Kelayakan

Dengan biaya sangat besar (puluhan triliun per tahun), MBG sulit berlanjut jika hanya mengandalkan APBN tanpa mekanisme yang lebih efisien.


3.  Alternatif Model Pelaksanaan


Berdasarkan evaluasi, setidaknya ada empat alternatif model yang lebih realistis:


3.1. Penyaluran Dana Langsung ke Orang Tua


Orang tua menerima dana MBG melalui voucher digital atau transfer ke rekening.


Dana digunakan membeli bahan makanan bergizi untuk anak.


Keunggulan: fleksibel, meningkatkan daya beli keluarga, sesuai kebutuhan anak.


Tantangan: butuh sistem pengawasan agar dana tidak disalahgunakan.


3.2. Sekolah sebagai Pengelola Mandiri


Dana MBG ditransfer langsung ke sekolah.


Sekolah melalui komite mengelola dana untuk menyediakan makanan bergizi.


Keunggulan: sesuai kondisi lokal, melibatkan masyarakat.


Tantangan: kapasitas manajemen sekolah berbeda-beda.


3.3. Kemitraan dengan UMKM Lokal


Sekolah bekerja sama dengan warung sehat, koperasi, atau kelompok petani.


Keunggulan: memberdayakan ekonomi lokal, bahan segar, distribusi mudah.


Tantangan: butuh standar gizi dan higienitas.


3.4. Digitalisasi dan Transparansi


Sistem berbasis aplikasi untuk monitoring penggunaan dana.


Orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat bisa mengakses data real-time.


Keunggulan: menutup celah korupsi, meningkatkan akuntabilitas.


D. Hasil dan Pembahasan


1. Gambaran Umum Implementasi Kebijakan MBG


Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan sebagai salah satu kebijakan strategis pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi siswa sekolah dasar dan menengah, khususnya di daerah dengan angka stunting tinggi. Secara konseptual, kebijakan ini sejalan dengan amanat konstitusi dan SDGs (Sustainable Development Goals) tentang Zero Hunger dan Good Health and Well-Being. Namun, dalam praktik, pelaksanaan MBG di berbagai daerah menghadapi permasalahan serius.


Berdasarkan evaluasi lapangan, terdapat beberapa isu utama:


1. Distribusi tidak merata: sekolah di perkotaan cenderung lebih mudah mendapat pasokan, sementara daerah terpencil mengalami keterlambatan.


2. Kualitas makanan rendah: sering ditemukan menu yang tidak sesuai standar gizi.


3. Potensi pemborosan anggaran: model penyediaan makanan massal membuka peluang mark-up harga dan penyimpangan.


4. Kurangnya keterlibatan orang tua dan sekolah: kebijakan terlalu sentralistik sehingga tidak sesuai kebutuhan lokal.


5. Keberlanjutan program diragukan: karena skema penganggaran tahunan tidak dibarengi mekanisme monitoring jangka panjang.


Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara konsep kebijakan dan realitas implementasi.


2. Analisis Carut-Marut Implementasi MBG


Kegagalan implementasi MBG dapat dipahami melalui pendekatan policy implementation theory (Pressman & Wildavsky, 1973). Menurut teori ini, kebijakan publik sering gagal bukan pada tahap perumusan, tetapi pada tahap implementasi karena faktor birokrasi, koordinasi, dan tata kelola.


Dalam konteks MBG, carut-marut terjadi karena:


Keterbatasan kapasitas birokrasi daerah: Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan sering tidak sinkron.


Sentralisasi pengadaan: membuka peluang monopoli penyedia jasa katering.


Kurangnya sistem monitoring independen: tidak ada mekanisme audit partisipatif yang melibatkan masyarakat.


Minimnya fleksibilitas lokal: menu makanan tidak menyesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal.


Jika dibiarkan, MBG berisiko menjadi program populis jangka pendek yang hanya menguras APBN tanpa dampak signifikan pada kualitas gizi siswa.


3. Alternatif Model Pelaksanaan MBG


Berdasarkan kajian kebijakan dan praktik di negara lain (misalnya Brazil – Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE), dan India – Mid-Day Meal Scheme), terdapat beberapa model alternatif yang bisa diadopsi:


a. Model Dana Langsung ke Orang Tua


Dana MBG disalurkan melalui rekening orang tua siswa.


Orang tua diberi kewenangan menyediakan makanan bergizi sesuai kebutuhan anak.


Pemerintah berfungsi sebagai pengawas kualitas, bukan penyedia langsung.


Kelebihan: transparansi lebih tinggi, menekan potensi korupsi, fleksibel dengan kebutuhan keluarga.


Kekurangan: butuh literasi gizi yang cukup di tingkat rumah tangga.


b. Model Sekolah Mandiri


Sekolah diberi block grant untuk mengelola MBG secara mandiri.


Dapat bekerja sama dengan koperasi sekolah, kantin sehat, atau UMKM lokal.


Kelebihan: memperkuat kemandirian sekolah, menumbuhkan ekonomi lokal, lebih sesuai konteks budaya.


Kekurangan: potensi ketimpangan antar sekolah (yang manajemennya lemah bisa gagal).


c. Model Kemitraan dengan UMKM dan Petani Lokal


Pemerintah daerah menggandeng UMKM katering dan petani lokal sebagai penyedia bahan makanan.


Menjamin kualitas gizi sekaligus menggerakkan ekonomi desa.


Kelebihan: multiplier effect ekonomi, pengawasan lebih mudah.


Kekurangan: butuh regulasi yang jelas agar tidak terjadi monopoli.


d. Model Digitalisasi dan Voucher Elektronik


Dana MBG dialokasikan melalui e-voucher yang bisa dibelanjakan di toko atau warung sehat yang terdaftar.


Sistem berbasis aplikasi memungkinkan transparansi dan akuntabilitas real-time.


Kelebihan: efisien, mengurangi kebocoran anggaran, dapat dipantau langsung.


Kekurangan: butuh infrastruktur digital memadai di seluruh daerah.


4. Evaluasi Model Alternatif


Berdasarkan analisis, kombinasi Model Dana Langsung ke Orang Tua + Model Sekolah Mandiri tampak paling realistis di Indonesia. Orang tua tetap berperan utama dalam memastikan gizi anak, sementara sekolah berfungsi sebagai pengawas dan fasilitator. Skema ini bisa diperkuat dengan voucher digital untuk memastikan dana benar-benar dipakai untuk kebutuhan gizi.


Dengan model ini, MBG bisa berubah dari program populis menjadi kebijakan pendidikan-gizi yang prima, tertib, dan berkesinambungan.


5. Implikasi Sosial dan Kebijakan


Bagi pemerintah pusat: perlu merancang ulang kebijakan MBG agar lebih desentralistik, transparan, dan partisipatif.


Bagi pemerintah daerah: perlu mengoptimalkan peran sekolah, UMKM lokal, dan organisasi masyarakat.


Bagi masyarakat: meningkatkan literasi gizi keluarga agar dana yang diterima benar-benar efektif.


Bagi dunia pendidikan: program MBG bisa menjadi pintu masuk pendidikan gizi sejak dini.


Dengan demikian, keberhasilan MBG tidak hanya bergantung pada ketersediaan dana, tetapi juga pada tata kelola kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berkeadilan sosial.


F. Kesimpulan dan Rekomendasi


1. Kesimpulan


Evaluasi total terhadap kebijakan Makanan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan bahwa program ini lahir dari niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak sekolah, menurunkan angka stunting, serta mendukung capaian pendidikan nasional. Namun, praktik implementasi di lapangan memperlihatkan carut-marut tata kelola yang berpotensi menurunkan efektivitas dan efisiensi program.


Permasalahan utama dapat dirangkum dalam empat aspek pokok:


1. Aspek distribusi dan pemerataan: pelaksanaan MBG cenderung lebih mudah di daerah perkotaan dibandingkan daerah terpencil atau kepulauan.


2. Aspek kualitas gizi: menu makanan yang disediakan sering tidak memenuhi standar gizi yang seharusnya menjadi inti dari kebijakan ini.


3. Aspek tata kelola dan akuntabilitas: model penyediaan massal berpotensi membuka ruang bagi praktik koruptif, pemborosan anggaran, serta ketidaktransparanan dalam pelaksanaan.


4. Aspek keberlanjutan: tidak ada jaminan bahwa program ini akan berjalan konsisten dan berkesinambungan jika tidak ditopang model implementasi yang lebih fleksibel dan berbasis kebutuhan lokal.


Analisis model alternatif (dana langsung ke orang tua, sekolah mandiri, kemitraan dengan UMKM, dan digitalisasi melalui voucher elektronik) menunjukkan bahwa kebijakan MBG dapat lebih efektif bila mengedepankan kombinasi desentralisasi, partisipasi masyarakat, dan teknologi digital. Dengan demikian, MBG tidak hanya sekadar program populis, tetapi menjadi kebijakan jangka panjang yang mengintegrasikan aspek gizi, pendidikan, dan pembangunan ekonomi lokal.


2. Rekomendasi Kebijakan


Berdasarkan analisis di atas, berikut beberapa rekomendasi strategis untuk perbaikan kebijakan MBG agar lebih tertib, prima, dan berkesinambungan:


a. Reorientasi Kebijakan MBG


Pemerintah perlu meninjau ulang orientasi kebijakan agar tidak sekadar menyalurkan makanan massal, melainkan memastikan peningkatan gizi anak melalui mekanisme yang lebih fleksibel.


Fokus utama bukan pada “pemberian makanan”, tetapi pada “pemenuhan gizi berkelanjutan”.


b. Pemberian Dana Langsung dengan Mekanisme Kontrol


Dana MBG dapat disalurkan langsung ke rekening orang tua siswa dengan jumlah tertentu per bulan.


Mekanisme pengawasan berbasis digital (voucher elektronik atau aplikasi) diterapkan untuk memastikan dana digunakan sesuai tujuan.


c. Penguatan Peran Sekolah


Sekolah diberi kewenangan mengelola dana MBG secara mandiri dengan melibatkan komite sekolah, koperasi siswa, dan kantin sehat.


Model block grant kepada sekolah dapat memacu inovasi pengelolaan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan lokal.


d. Kemitraan dengan UMKM dan Petani Lokal


Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan penyedia lokal untuk menjamin pasokan bahan pangan bergizi.


Skema ini tidak hanya memastikan ketersediaan makanan sehat, tetapi juga menumbuhkan ekonomi lokal melalui multiplier effect.


e. Monitoring dan Evaluasi Partisipatif


Sistem monitoring berbasis masyarakat (community-based monitoring) perlu dikembangkan agar orang tua, guru, dan lembaga independen ikut mengawasi.


Audit berkala harus dilakukan untuk menghindari praktik korupsi dan penyalahgunaan anggaran.


f. Peningkatan Literasi Gizi


Program MBG sebaiknya diintegrasikan dengan kurikulum pendidikan gizi di sekolah.


Orang tua siswa perlu diberikan edukasi gizi agar mampu mengelola dana MBG dengan tepat.


g. Kebijakan Jangka Panjang dan Keberlanjutan


MBG harus dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang (RPJMN) agar tidak sekadar menjadi program populis lima tahunan.


Perlu dukungan regulasi yang jelas, pendanaan berkelanjutan, dan desain kelembagaan yang kuat.


3. Penutup


Kebijakan MBG merupakan langkah penting dalam memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pemenuhan gizi sejak usia sekolah. Namun, keberhasilan program ini hanya mungkin tercapai apabila pemerintah berani melakukan reformasi tata kelola dengan melibatkan sekolah, orang tua, dan masyarakat lokal secara lebih aktif.


Evaluasi total ini menegaskan bahwa pemberian makanan secara massal bukanlah satu-satunya jalan. Justru, model alternatif seperti dana langsung, sekolah mandiri, voucher digital, dan kemitraan dengan UMKM lebih potensial menjamin efektivitas, transparansi, serta keberlanjutan program.


Dengan kombinasi pendekatan tersebut, diharapkan MBG dapat benar-benar menghadirkan manfaat nyata: anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, berdaya saing, dan siap menghadapi masa depan.


Daftar Pustaka


Sumber Internasional (2)


FAO. (2022). The State of Food Security and Nutrition in the World 2022. Rome: FAO.


UNICEF. (2019). School Feeding: Investment in Effective Learning and Nutrition. New York: UNICEF.


Sumber Indonesia (5)

Bappenas. (2020). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Indonesia, Pemerintah Republik. (2023). Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2023 tentang Program Makanan Bergizi Gratis. Jakarta.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Pedoman Teknis Pelaksanaan Program Makanan Bergizi Gratis di Sekolah. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. (2021). Profil Kesehatan Indonesia 2021. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Sosial RI. (2022). Evaluasi Program Bantuan Sosial Non Tunai. Jakarta: Kementerian Sosial RI.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini