Rabu, 08 Oktober 2025

CAKALELE MENUNJUKKAN KEKEBALAN BAGI MASYARAKAT MATASIRI: MUNGKIN ANTARA ADAT, TAREKAT, DAN SPIRITUALITAS LOKAL?

Cakalele Menunjukkan Kekebalan Bagi Masyarakat Matasiri: Mungkin Antara Adat, Tarekat, Dan Spiritualitas Lokal ?

Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)


“Tarian Cakalele di Tanah Matasiri”

Di tanah Matasiri, genderang bertalu,
suara laut bersahut dengan napas batu,
leluhur bangkit dari sunyi nian,
menyentuh dada anak negeri yang menari dalam iman.

Cakalele bukan sekadar perang,
ia doa yang menembus langit terang,
setiap ayunan parang adalah ayat,
setiap langkah kaki adalah dzikir yang berlipat.

Kekebalan bukan dari besi atau baja,
tapi dari jiwa yang jernih tanpa dusta,
dari tubuh yang ditempa oleh puasa dan cinta,
dan hati yang tak goyah di hadapan bahaya.

Adat memeluk tarekat dalam harmoni sunyi,
dua aliran jadi satu dalam takdir Ilahi,
Matasiri berdiri teguh di tepi waktu,
antara laut biru dan rahasia yang tak lekang selalu.

Wahai penari Cakalele,
tatap langit, genggam tanah,
karena kekuatanmu bukan dari dunia,
melainkan dari kasih leluhur dan cahaya Yang Maha Esa. (Obasa). 


A. Abstrak

Portal Suara Academia: Cakalele merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang sarat makna bagi masyarakat Maluku, khususnya di wilayah Matasiri. Tarian ini tidak sekadar menjadi simbol keberanian dan pertahanan diri, tetapi juga manifestasi spiritualitas dan identitas sosial. Dalam konteks masyarakat Matasiri, Cakalele sering dianggap mengandung unsur kekebalan fisik dan spiritual yang berakar pada nilai adat dan keyakinan tarekat. Artikel ini bertujuan menganalisis hubungan antara Cakalele, sistem adat, dan dimensi tarekat dalam masyarakat Matasiri melalui pendekatan antropologi religius dan sosiologi budaya. Hasil kajian menunjukkan bahwa kekebalan dalam Cakalele tidak semata fenomena mistik, tetapi simbol kekuatan moral, solidaritas komunal, dan koneksi vertikal manusia dengan Yang Ilahi.

Kata kunci: Cakalele, kekebalan, adat, tarekat, Matasiri, spiritualitas lokal


B. Pendahuluan

Cakalele sebagai bentuk kesenian perang tradisional telah lama menjadi simbol kebanggaan masyarakat Maluku. Namun, di wilayah tertentu seperti Matasiri, Cakalele memiliki makna yang jauh lebih mendalam daripada sekadar tarian perang. Ia merupakan representasi dari kekuatan spiritual, sistem sosial, dan hubungan sakral antara manusia, leluhur, dan Tuhan.

Fenomena “kekebalan” yang sering muncul dalam praktik Cakalele bukan hanya mitos atau kepercayaan lokal tanpa dasar, tetapi bagian dari konstruksi budaya yang mencerminkan sistem nilai, kepercayaan, dan spiritualitas masyarakat. Dalam tradisi Matasiri, para penari Cakalele diyakini memiliki perlindungan supranatural yang diperoleh melalui ritual adat, dzikir tarekat, dan latihan batin yang menghubungkan kekuatan lahir dan batin.


C. Landasan Teori

Dalam kerangka teoritis, artikel ini menggunakan tiga pendekatan utama:

  1. Pendekatan Antropologi Simbolik (Clifford Geertz) – bahwa kebudayaan merupakan sistem makna yang diwujudkan melalui simbol, ritus, dan narasi kolektif.
  2. Pendekatan Sosiologi Spiritualitas (Max Weber) – melihat hubungan antara tindakan sosial dengan nilai-nilai religius yang membentuk etika sosial.
  3. Teori Tarekat dan Transendensi (Ibn Arabi & Al-Ghazali) – menjelaskan proses penyucian jiwa dan pencapaian kekuatan spiritual melalui kedekatan dengan Tuhan.

Ketiga pendekatan ini memungkinkan analisis Cakalele tidak hanya sebagai ekspresi estetika, tetapi juga sebagai bentuk praksis sosial-religius.


D. Cakalele sebagai Warisan Adat dan Identitas Sosial

Bagi masyarakat Matasiri, adat merupakan sistem nilai tertinggi yang mengatur hubungan manusia dengan alam, sesama, dan leluhur. Cakalele menjadi bagian penting dari sistem tersebut karena berfungsi memperkuat identitas komunal. Gerakan tari yang gagah, teriakan semangat, serta penggunaan senjata tradisional seperti parang dan salawaku mencerminkan nilai keberanian, kehormatan, dan kebersamaan.

Ritual sebelum Cakalele dimulai melibatkan doa, pembacaan mantera adat, dan penyucian diri. Inilah yang menjadi dasar keyakinan bahwa penari memperoleh “kekebalan” atau perlindungan spiritual. Dalam perspektif lokal, kekebalan bukan sekadar kebal terhadap senjata tajam, tetapi keteguhan hati, kemurnian niat, dan kekuatan moral yang tidak mudah dikalahkan oleh kejahatan duniawi.


E. Cakalele dan Tarekat: Dimensi Spiritualitas Sufi Lokal

Uniknya, di Matasiri pengaruh tarekat Islam juga sangat kental. Beberapa keluarga besar di wilayah ini memiliki silsilah tarekat tertentu, seperti Qadiriyah atau Naqsyabandiyah. Mereka memadukan dzikir tarekat dengan ritual adat. Dalam konteks ini, penari Cakalele sering menjalani puasa, wirid, dan mandi ritual sebelum tampil.

Praktik tarekat dalam Cakalele menjadi bentuk sinkretisme antara Islam dan adat lokal. Dzikir dan mantera diucapkan bersamaan dengan doa adat untuk memohon keselamatan. Kekuatan spiritual yang muncul dari praktik ini diyakini memberi “pelindung gaib” yang disebut masyarakat sebagai “teka adat” — kekuatan suci yang berasal dari izin leluhur dan Tuhan.


F. Makna Kekebalan: Antara Fisik dan Metafisik

Kekebalan dalam Cakalele sering ditafsirkan sebagai bentuk kesaktian. Namun dalam perspektif ilmiah, kekebalan lebih tepat dipahami sebagai manifestasi dari psikologi spiritual dan energi kolektif. Penari Cakalele yang telah menjalani proses spiritual intens mengalami kondisi trance (kesadaran transendental), di mana adrenalin, fokus, dan keyakinan bekerja simultan, menghasilkan kekuatan luar biasa.

Selain itu, kekebalan menjadi simbol moral — yaitu kemampuan bertahan menghadapi godaan, kejahatan, dan ketidakadilan. Cakalele mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan pada tubuh yang kebal, tetapi pada jiwa yang bersih dan hati yang berani.


G. Konteks Sosial dan Fungsi Simbolik

Dalam masyarakat Matasiri, Cakalele memiliki fungsi sosial ganda:

  1. Sebagai mekanisme sosial – memperkuat solidaritas antarkelompok dan menjaga tatanan adat.
  2. Sebagai ekspresi politik identitas – menunjukkan eksistensi masyarakat Matasiri di tengah modernisasi dan globalisasi.
  3. Sebagai terapi spiritual – membantu masyarakat mengatasi ketegangan sosial dan emosional melalui ekspresi kolektif.

Dengan demikian, Cakalele menjadi medium komunikasi sosial dan spiritual yang menyatukan unsur adat, agama, dan seni.


Adat dan Tarekat: Bukan Dualisme, tetapi Harmoni

Sering kali adat dan tarekat dianggap dua sistem berbeda: yang satu bersifat lokal dan yang lain bersifat universal. Namun dalam konteks Matasiri, keduanya berjalin harmonis. Adat memberi bentuk dan simbol, sedangkan tarekat memberi ruh dan makna spiritual. Sinergi ini menciptakan bentuk spiritualitas khas Nusantara, di mana Islam dipahami secara kultural tanpa kehilangan keotentikan teologisnya.

Kekebalan dalam Cakalele lahir dari kesatuan nilai tersebut — perpaduan antara doa adat, dzikir tarekat, dan semangat moral masyarakat.


H. Analisis: Antara Rasionalitas dan Transendensi

Kajian akademik modern berupaya menjelaskan fenomena Cakalele secara rasional, namun masyarakat lokal memahaminya secara spiritual. Kedua perspektif ini seharusnya tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Rasionalitas menjelaskan mekanisme sosial dan psikologis, sedangkan spiritualitas memberi makna dan nilai hidup.

Dalam kerangka epistemologi lokal, “ilmu kebal” bukan ilmu hitam, melainkan ilmu moral — yakni kemampuan menjaga kesucian diri, mengendalikan hawa nafsu, dan menegakkan kebenaran. Ini sejalan dengan ajaran sufistik tentang mujahadah dan tazkiyatun nafs.


I. Kesimpulan

Cakalele bagi masyarakat Matasiri bukan hanya warisan budaya, tetapi sistem spiritual yang kompleks. Kekebalan yang tampak bukanlah sekadar fenomena fisik, melainkan simbol kekuatan moral, disiplin spiritual, dan kesatuan sosial. Adat dan tarekat dalam konteks ini tidak berlawanan, tetapi bersinergi untuk menciptakan harmoni antara dunia lahir dan batin.

Kajian ini menunjukkan pentingnya memahami tradisi lokal dengan pendekatan multidisipliner — antropologis, sosiologis, dan teologis — agar kebudayaan seperti Cakalele tidak hanya dilihat sebagai folklor, tetapi juga sebagai bentuk kearifan spiritual yang berkontribusi pada ketahanan budaya bangsa.


Daftar Pustaka (Simbolik)

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

Weber, M. (1963). The Sociology of Religion. Beacon Press.

Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din.

Ibn Arabi. Fusus al-Hikam.

Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Tualeka, B. A. (2025). Teori Pengaruh dan Paksa dalam Dinamika Sosial Budaya. Manuskrip tidak diterbitkan.



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini