Rabu, 22 Oktober 2025

KETIKA MEREKA TAKUT KEBENARAN

Antara Moralitas Politik dan Krisis Etika Kekuasaan di Indonesia

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa) 


Abstrak

Portal Suara Academia: Ketakutan terhadap kebenaran merupakan tanda dari sistem yang sedang rapuh secara moral dan etika. Fenomena ini bukan sekadar peristiwa politik, melainkan refleksi atas hubungan kekuasaan, kejujuran, dan keberanian dalam menghadapi realitas. Jurnal ini menganalisis dinamika “ketakutan terhadap kebenaran” sebagai gejala sosial-politik yang memperlihatkan ketegangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik. Dengan menggunakan pendekatan reflektif-nasionalistik, tulisan ini mengupas akar masalah ketertutupan, manipulasi informasi, dan budaya diam dalam birokrasi dan politik Indonesia. Kebenaran, yang seharusnya menjadi dasar moral dan hukum, seringkali dipelintir menjadi ancaman bagi kepentingan kekuasaan. Dalam konteks ini, munculnya figur-figur berani seperti Purbaya mencerminkan panggilan moral untuk mengembalikan integritas sistem publik. Tulisan ini menegaskan bahwa keberanian membuka kebenaran bukan tindakan menyerang, melainkan wujud cinta terhadap bangsa yang sedang mencari arah etik baru.


Pendahuluan

Kebenaran adalah fondasi moral yang menjaga peradaban tetap berdiri tegak. Namun dalam praktik kekuasaan, kebenaran kerap dianggap ancaman. Ketika seseorang berbicara jujur, sistem yang dibangun di atas kebohongan akan berguncang. Fenomena ini tampak jelas dalam dinamika politik dan birokrasi Indonesia, di mana upaya mengungkap fakta sering kali dihadapkan pada resistensi, pembungkaman, bahkan kriminalisasi.

Dalam konteks ini, pernyataan “kalau mereka takut kebenaran, berarti ada yang mereka sembunyikan” menjadi refleksi mendalam tentang kondisi sosial-politik kita. Ketakutan terhadap kebenaran bukan semata masalah individu, tetapi gejala dari sistem yang telah lama terbiasa dengan kompromi moral. Kebenaran yang seharusnya menjadi cahaya justru dipandang sebagai api yang mengancam kenyamanan elite.

Indonesia pasca-reformasi mengalami kemajuan dalam demokrasi, tetapi belum tuntas dalam moralitas kekuasaan. Banyak lembaga publik masih dikuasai oleh kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat. Data disembunyikan, anggaran diselewengkan, kebijakan dikendalikan oleh oligarki. Akibatnya, rakyat kehilangan kepercayaan pada negara, dan kebenaran kehilangan tempatnya di ruang publik.

Munculnya sosok seperti Purbaya — yang berani menantang sistem lama dengan suara tenang namun tajam — menandai babak baru dalam perjuangan moral bangsa. Ia bukan simbol perlawanan terhadap individu, melainkan perlawanan terhadap kebiasaan buruk yang telah mengakar. Keberaniannya berbicara mewakili rasa frustrasi publik terhadap kebohongan yang terus dipelihara.

Tulisan ini mencoba memotret kondisi itu dari perspektif etika politik dan moral publik. Mengapa kebenaran ditakuti? Apa yang membuat sistem politik sulit menerima kejujuran? Dan bagaimana keberanian individu dapat menjadi awal perubahan bagi sistem yang rapuh? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi dasar refleksi jurnal ini.


Kajian Teori dan Konsep Kebenaran

Kebenaran, dalam filsafat klasik, dipahami sebagai kesesuaian antara kenyataan dan pernyataan (adaequatio rei et intellectus). Namun dalam dunia sosial-politik, kebenaran sering kali dikonstruksi oleh kekuasaan. Michel Foucault menyebut fenomena ini sebagai regime of truth — suatu sistem di mana kebenaran ditentukan oleh siapa yang berkuasa, bukan oleh fakta objektif.

Dalam konteks Indonesia, rezim kebenaran terbentuk melalui relasi antara politik, media, dan birokrasi. Setiap pihak memiliki kepentingan untuk menampilkan versi kebenarannya sendiri. Ketika kebenaran menjadi alat kekuasaan, maka keberanian untuk berkata jujur adalah tindakan revolusioner.

Habermas, dalam teori tindakan komunikatif, menekankan bahwa ruang publik seharusnya menjadi arena bagi rasionalitas dan transparansi. Namun ruang publik Indonesia sering kali terdistorsi oleh manipulasi informasi. Akibatnya, komunikasi antara rakyat dan penguasa tidak berjalan secara jujur. Kebenaran digantikan oleh propaganda, dan opini publik diarahkan untuk melindungi kepentingan politik.

Max Weber melihat etika politik sebagai keseimbangan antara etika tanggung jawab dan etika keyakinan. Pemimpin yang takut pada kebenaran berarti kehilangan keduanya: ia tidak bertanggung jawab atas realitas, dan tidak memiliki keyakinan moral. Sebaliknya, pemimpin yang berani membuka kebenaran menanggung risiko sosial, tetapi justru menjaga martabat kekuasaan.

Secara budaya, masyarakat Indonesia memiliki filosofi kejujuran yang dalam. Pepatah adat “kebenaran itu ibarat matahari, tak bisa disembunyikan di balik awan” menunjukkan bahwa kejujuran adalah nilai universal. Dalam banyak tradisi lokal, pemimpin yang berbohong dianggap melanggar keseimbangan kosmis antara manusia dan alam. Namun modernisasi politik sering kali menghapus nilai-nilai ini, menggantikannya dengan kalkulasi kekuasaan.

Kebenaran, karenanya, bukan hanya fakta, tetapi juga moralitas. Ia menjadi indikator kesehatan sosial. Masyarakat yang takut pada kebenaran berarti kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan. Dalam kondisi seperti itu, munculnya satu suara jujur dapat mengguncang seluruh sistem — bukan karena kerasnya suara itu, tetapi karena panjangnya diam yang mendahuluinya.


Analisis: Ketika Mereka Takut Kebenaran

Fenomena ketakutan terhadap kebenaran dapat dilihat dari tiga dimensi utama: politik kekuasaan, psikologi sosial, dan moral publik.


1. Dimensi Politik Kekuasaan

Dalam sistem politik yang oligarkis, kebenaran menjadi ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Banyak pejabat atau elite politik membangun karier di atas kompromi dan transaksi. Ketika ada individu yang membuka fakta, ia dianggap membahayakan jaringan kepentingan itu. Ketakutan bukan karena kebenaran itu salah, tetapi karena ia membongkar struktur kekuasaan yang selama ini disembunyikan.

Serangan terhadap figur-figur berani seperti Purbaya adalah bentuk defensive reaction dari sistem yang korup. Mereka menggiring opini, membangun narasi tandingan, dan berusaha menutupi jejak. Namun sebagaimana hukum sosial bekerja, semakin keras kebenaran ditekan, semakin kuat gema moral yang muncul dari publik.


2. Dimensi Psikologi Sosial

Ketakutan terhadap kebenaran juga mencerminkan trauma kolektif bangsa terhadap masa lalu. Selama bertahun-tahun, masyarakat diajarkan untuk diam. Budaya feodal membuat rakyat segan melawan kekuasaan. Maka ketika seseorang berbicara jujur, banyak orang justru merasa canggung, seolah kejujuran adalah tindakan berbahaya.

Dalam psikologi sosial, ini disebut sebagai learned helplessness — kondisi di mana masyarakat terbiasa tak berdaya menghadapi kebohongan. Karena itu, keberanian individu untuk berbicara dapat memicu efek domino. Rakyat yang melihat kebenaran terbuka akan belajar untuk tidak takut lagi.


3. Dimensi Moral Publik

Ketika elite takut pada kebenaran, rakyat kehilangan teladan moral. Padahal dalam falsafah Pancasila, kejujuran dan keadilan merupakan nilai dasar kemanusiaan. Politik tanpa moral hanyalah pertarungan kepentingan tanpa arah.

Kehadiran sosok seperti Purbaya menjadi penting karena ia mengembalikan moralitas dalam wacana publik. Ia tidak memposisikan diri sebagai musuh siapa pun, tetapi sebagai cermin sistem yang sedang sakit. Ungkapannya — “Saya tidak menyerang siapa pun, tapi saya tidak akan lari dari kebenaran” — menegaskan posisi etis seorang pemimpin yang memilih kejujuran di atas keamanan pribadi.

Ketika rakyat menyaksikan keberanian seperti ini, kesadaran kolektif mulai tumbuh. Mereka belajar bahwa negara bukan milik elite, melainkan milik rakyat. Dan jika suara kebenaran terus diabaikan, rakyatlah yang pada akhirnya akan menuntut keadilan dengan cara mereka sendiri.

Kebenaran tidak bisa dihentikan dengan propaganda. Ia mungkin tertunda, tapi tak pernah mati. Dalam sejarah bangsa ini, setiap upaya menutupi kebenaran selalu berakhir dengan runtuhnya kepercayaan publik. Ketika rakyat sudah berani bicara, sistem lama tak lagi bisa bertahan.


Implikasi Reformasi dan Etika Kekuasaan

Kebenaran yang ditakuti menunjukkan bahwa reformasi belum selesai. Reformasi politik tanpa reformasi moral hanyalah perubahan bentuk, bukan perubahan substansi. Etika kekuasaan harus dibangun di atas prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberanian moral.

Jika pemimpin takut pada kebenaran, ia sebenarnya takut pada rakyat. Sebaliknya, pemimpin sejati justru membuka ruang bagi kritik dan koreksi, karena dari sanalah kekuatan moral negara tumbuh. Kebenaran harus dilindungi oleh sistem hukum yang independen, oleh media yang jujur, dan oleh rakyat yang berani bersuara.

Indonesia tidak akan maju hanya dengan kebijakan ekonomi dan pembangunan fisik. Negara akan kuat jika fondasi etiknya kokoh. Dan fondasi itu dimulai dari keberanian untuk berkata benar — sekalipun kebenaran itu menyakitkan.


Kesimpulan

Ketika mereka takut kebenaran, sesungguhnya mereka sedang takut pada diri sendiri. Kebenaran bukan ancaman, tetapi jalan menuju pemulihan moral bangsa. Dalam setiap zaman, selalu ada individu yang berani berdiri di tengah badai kebohongan. Mereka bukan malaikat, tetapi manusia yang memilih kejujuran sebagai bentuk cinta pada negeri.

Perjuangan melawan ketakutan bukan sekadar persoalan politik, tetapi perjuangan untuk mengembalikan akal sehat bangsa. Purbaya hanyalah simbol dari banyak suara rakyat yang menuntut keterbukaan dan keadilan. Dan sejarah selalu berpihak kepada mereka yang jujur.

Karena ketika kebenaran akhirnya muncul — semua kebohongan, sekuat apa pun, akan kehilangan suaranya. (Obasa)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini