(Transformasi Peran Ulama dalam Dinamika Sosial, Politik, dan Spiritualitas di Indonesia)
Oleh: Basa Alim Tualeka, (OBASA)
Abstrak
Portal Suara Academia: Perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia telah membawa konsekuensi terhadap peran dan fungsi kyai sebagai figur sentral dalam masyarakat Islam. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara kyai dulu dan kyai kini melalui pendekatan sosiologis, historis, dan teologis. Dengan metode kualitatif deskriptif, penulis mengkaji transformasi nilai, orientasi, dan pengaruh kyai dari masa pra-kemerdekaan hingga era digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kyai dulu memiliki orientasi spiritual dan moral yang tinggi, sedangkan kyai kini lebih dinamis dan terbuka terhadap kekuasaan, ekonomi, dan media. Meskipun demikian, keduanya berperan penting dalam menjaga kesinambungan nilai Islam di tengah perubahan zaman.
Kata Kunci: Kyai, Spiritualitas, Kekuasaan, Pesantren, Modernisasi.
Pendahuluan
Figur kyai dalam konteks keislaman Indonesia merupakan entitas yang unik. Ia bukan sekadar guru agama, melainkan simbol otoritas moral dan spiritual yang memiliki legitimasi sosial yang kuat di tengah masyarakat. Dalam sejarahnya, kyai memegang peranan penting dalam membentuk karakter bangsa, khususnya melalui lembaga pesantren.
Namun, memasuki abad ke-21, fungsi kyai mengalami pergeseran. Mereka kini tampil dalam ruang publik sebagai politisi, pengusaha, bahkan influencer keagamaan di media sosial. Fenomena ini melahirkan dua kutub pandangan: satu yang menilai sebagai bentuk kemajuan dakwah modern, dan lainnya yang melihat sebagai gejala komersialisasi spiritual.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan nilai dan orientasi antara kyai dulu dan kyai kini, serta menilai implikasinya terhadap kehidupan sosial dan moral masyarakat Indonesia.
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1. Konsep Kyai dalam Islam Nusantara
Dalam literatur klasik, kyai diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama tinggi dan menjadi panutan umat. Istilah ini khas Indonesia dan tidak ditemukan di dunia Arab. Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994), kyai adalah tokoh yang memiliki pesantren, mengajarkan kitab kuning, dan membimbing santri secara spiritual dan sosial.
Pesantren sebagai institusi sosial-keagamaan berfungsi ganda: tempat transmisi ilmu Islam dan pusat pembentukan moral masyarakat. Otoritas kyai berasal dari keilmuan (‘ilm), keteladanan (akhlaq), dan karisma spiritual (barokah).
2. Teori Kepemimpinan Spiritual
Max Weber (1947) mengkategorikan kepemimpinan kyai sebagai bentuk charismatic authority — kekuasaan yang lahir dari keyakinan masyarakat terhadap kesucian dan kemampuan spiritual seseorang. Dalam konteks Islam, kepemimpinan spiritual didasari oleh amanah, ikhlas, dan tanggung jawab moral.
Dalam perkembangan modern, tipe kepemimpinan kyai beralih dari karismatik ke rational-legal authority, di mana otoritas dibentuk melalui struktur organisasi formal seperti partai, lembaga pendidikan, atau institusi keagamaan.
3. Teori Modernisasi Agama
Menurut Peter L. Berger (1967), modernisasi mendorong proses sekularisasi nilai — termasuk dalam institusi keagamaan. Dalam kasus Indonesia, modernisasi menyebabkan kyai menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman: penggunaan teknologi, keterlibatan politik, dan pengelolaan ekonomi pesantren. Namun, proses ini menimbulkan dilema antara efisiensi modern dengan kemurnian spiritualitas.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis dan historis.
Data diperoleh melalui:
- Analisis literatur (buku, jurnal, arsip sejarah pesantren).
- Kajian media dan dokumentasi publik figur kyai masa kini.
- Pengamatan fenomenologis terhadap perubahan peran dan persepsi masyarakat terhadap kyai.
Analisis data dilakukan secara interpretatif untuk menggali makna sosial dan nilai spiritual yang berkembang dalam dua konteks waktu berbeda: kyai dulu (1900–1980-an) dan kyai kini (2000–2025).
Hasil dan Pembahasan
1. Kyai Dulu: Simbol Spiritualitas dan Keteladanan
Kyai masa lalu dikenal dengan kesederhanaan hidup, keikhlasan dalam mengajar, dan kepemimpinan moral tanpa pamrih. Mereka menjadi penjaga nilai-nilai Islam sekaligus benteng moral bangsa.
Figur seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Wahid Hasyim menunjukkan bahwa peran kyai tidak hanya terbatas pada dakwah, tetapi juga perjuangan kebangsaan. Kyai dulu memiliki kekuatan moral yang menuntun masyarakat tanpa harus menggunakan kekuasaan formal.
Nilai-nilai utama kyai dulu meliputi:
- Zuhud (hidup sederhana dan menjauh dari kemewahan),
- Ikhlas (mengajar tanpa pamrih),
- Khidmah (pengabdian kepada umat),
- Tawadhu’ (rendah hati di hadapan ilmu dan Tuhan).
2. Kyai Kini: Adaptasi terhadap Modernitas dan Kekuasaan
Perkembangan politik pascareformasi membuka ruang partisipasi luas bagi kalangan ulama. Banyak kyai kini terlibat dalam pemerintahan, partai politik, lembaga ekonomi, hingga dunia digital. Fenomena ini mencerminkan proses sekularisasi simbolik, di mana peran religius bergeser ke arah peran sosial-politik.
Meskipun membawa dampak positif seperti pemberdayaan ekonomi umat dan penguatan pendidikan, terdapat risiko munculnya:
- Politisasi agama,
- Komersialisasi dakwah,
- Hilangnya jarak etik antara kyai dan kekuasaan, serta
- Ketergantungan pesantren terhadap sumber dana non-spiritual.
3. Analisis Perbandingan Ilmiah
Aspek Kyai Dulu Kyai Kini
Legitimasi sosial Karisma spiritual Popularitas publik dan media
Motivasi utama Pengabdian dan dakwah Kekuasaan dan pengaruh sosial
Peran ekonomi Sederhana, berbasis wakaf Modern, berorientasi bisnis
Gaya kepemimpinan Karismatik dan paternalistik Manajerial dan digital
Hubungan dengan umat Personal dan batiniah Formal dan digitalisasi dakwah
Hasil ini menunjukkan bahwa pergeseran kyai kini lebih disebabkan oleh perubahan struktur sosial dan sistem ekonomi kapitalistik yang memaksa agama beradaptasi dengan logika pasar dan politik.
Diskusi Kritis
Perubahan peran kyai tidak selalu dapat dinilai negatif. Dalam perspektif filsafat sosial Islam, segala perubahan adalah bagian dari sunnatullah (proses hukum alam sosial) yang mengharuskan manusia beradaptasi terhadap zaman.
Namun, kritik yang perlu diajukan adalah:
1. Krisis otoritas moral.
Ketika kekuasaan menjadi tujuan, maka pesan spiritual menjadi kehilangan nilai sakral.
2. Komersialisasi simbol agama.
Gelar kyai menjadi “brand” untuk legitimasi ekonomi dan politik.
3. Digitalisasi tanpa etika.
Media sosial memperkuat citra, tetapi melemahkan substansi dakwah.
Dalam konteks ini, kyai kini dituntut bukan hanya cerdas dalam teknologi, tetapi juga konsisten menjaga integritas spiritual.
Nilai Spiritualitas dalam Kepemimpinan Kyai
Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 269:
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak.”
Ayat ini mengandung makna bahwa kekuasaan sejati lahir dari hikmah, bukan dari jabatan atau kekayaan. Dengan demikian, kepemimpinan kyai harus berpijak pada tiga fondasi spiritual:
1. Hikmah (kebijaksanaan),
2. Amanah (tanggung jawab moral),
3. Ikhlas (kemurnian niat dalam melayani umat).
Implikasi Sosial dan Pendidikan
1. Reformasi Pesantren
Pesantren harus menjadi laboratorium nilai-nilai moral dan spiritual di era digital, bukan sekadar lembaga pendidikan agama.
2. Pendidikan Etika Publik bagi Kyai Muda
Lembaga keulamaan perlu memberikan pelatihan etika politik dan manajemen dakwah agar generasi baru tidak terjebak dalam pragmatisme kekuasaan.
3. Pemberdayaan Ekonomi Umat yang Berkeadilan
Pesantren modern sebaiknya mengembangkan ekonomi berbasis wakaf produktif agar tidak bergantung pada bantuan politik.
4. Transformasi Digital Dakwah
Pemanfaatan media sosial harus diarahkan pada pendidikan moral dan pencerahan, bukan sekadar konten viral.
Kesimpulan
Transformasi kyai dari masa ke masa menunjukkan bahwa perubahan sosial tidak dapat dihindari. Kyai dulu adalah simbol spiritualitas dan keikhlasan; kyai kini adalah simbol adaptasi dan rasionalitas.
Keduanya memiliki peran strategis dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai Islam di Indonesia. Tantangan utama bagi kyai masa kini adalah bagaimana memadukan modernitas dengan spiritualitas tanpa kehilangan substansi nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu.
Dengan demikian, idealnya kyai masa depan adalah sosok yang:
- Berilmu luas dan berakhlak kuat,
- Menguasai teknologi tanpa kehilangan kesederhanaan,
- Berani berdiri di tengah kekuasaan tanpa tunduk padanya,
- Dan tetap menjadi cahaya moral dalam kehidupan bangsa.
Daftar Pustaka (contoh ringkas)
Berger, Peter L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Garden City: Anchor Books.
Dhofier, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Weber, Max. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Oxford University Press.
Madjid, Nurcholish. (1995). Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Bruinessen, Martin van. (1995). Pesantren dan Kitab Kuning: Tradisi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar