Ironi Pengelolaan BUMN di Indonesia
Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)
Puisi :
"Rakyat Bayar, Negara Rugi"
Abstrak
Portal Suara Academia: Artikel ini menganalisis paradoks ekonomi-politik yang melanda Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, di mana masyarakat telah membayar penuh terhadap layanan publik—listrik, air, bahan bakar, transportasi, dan telekomunikasi—namun sebagian besar BUMN justru melaporkan kerugian, bahkan beberapa di antaranya berada di ambang kebangkrutan. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis tata kelola yang kompleks, melibatkan praktik inefisiensi birokrasi, intervensi politik, korupsi sistemik, serta lemahnya prinsip akuntabilitas publik. Artikel ini menggunakan pendekatan analitis-deskriptif dengan merujuk pada data keuangan BUMN dan studi tata kelola sektor publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa kerugian BUMN tidak disebabkan oleh rendahnya pendapatan, melainkan karena salah kelola (mismanagement), beban subsidi yang tidak terukur, dan kebocoran anggaran. Penulis menawarkan model reformasi BUMN berbasis integritas, efisiensi, dan profesionalisme sebagai solusi menuju tata kelola yang bersih dan transparan.
Kata Kunci: BUMN, tata kelola, efisiensi, korupsi, politik ekonomi, rakyat
1. Pendahuluan
Dalam sistem ekonomi Indonesia, BUMN memiliki peran strategis sebagai pengelola sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Melalui BUMN, negara diharapkan mampu menghadirkan kesejahteraan ekonomi dan pelayanan publik yang adil. Namun, dalam kenyataannya, terjadi ironi: rakyat telah membayar secara penuh terhadap layanan-layanan BUMN, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut justru mencatat kerugian.
Fenomena ini dapat dilihat pada kasus beberapa perusahaan besar seperti Garuda Indonesia, PLN, Pertamina, PDAM, dan Telkom Indonesia. Garuda mengalami kebangkrutan meskipun menjual tiket dengan harga tinggi; PLN dan Pertamina melaporkan rugi bersih meskipun rakyat rutin membayar tagihan listrik dan membeli BBM; PDAM banyak yang kolaps di berbagai daerah; dan Telkom mengalami tekanan kinerja di tengah persaingan global.
Paradoks ini mengundang pertanyaan mendasar: mengapa BUMN yang dibiayai rakyat dan didukung negara justru merugi? Artikel ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menelaah akar persoalan tata kelola, pola intervensi politik, serta ketimpangan antara idealisme pelayanan publik dan realitas ekonomi-politik.
2. Kerangka Teoretis: BUMN, Negara, dan Rakyat
Konsep BUMN diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara. Tujuan utama BUMN adalah memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional serta menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi masyarakat.
Secara teoretis, BUMN berfungsi ganda:
1. Sebagai entitas ekonomi yang harus efisien dan berorientasi laba.
2. Sebagai entitas sosial yang wajib memberikan pelayanan publik.
Namun, dalam praktiknya, fungsi ganda ini sering kali menimbulkan konflik kepentingan. Ketika BUMN dituntut mencari keuntungan, ia terjebak dalam logika korporasi. Sebaliknya, ketika dipaksa menjalankan fungsi sosial tanpa kompensasi yang memadai, ia menderita kerugian finansial.
Teori public choice (Buchanan & Tullock, 1962) menjelaskan bahwa lembaga publik sering kali tidak efisien karena adanya kepentingan politik yang mendistorsi keputusan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, BUMN kerap dijadikan instrumen politik untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk memaksimalkan kesejahteraan rakyat.
3. Analisis: Mengurai Akar Masalah Kerugian BUMN
3.1. Birokrasi Gemuk dan Kepentingan Politik
BUMN di Indonesia sering kali menjadi tempat parkir politik. Posisi direksi dan komisaris diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan kapasitas profesional. Pola ini melahirkan birokrasi yang gemuk, tidak efisien, dan sulit berinovasi.
Setiap kebijakan strategis harus melalui lapisan birokrasi yang panjang, sehingga keputusan bisnis menjadi lamban dan tidak adaptif terhadap dinamika pasar. Akibatnya, BUMN kehilangan daya saing dan efisiensi operasional.
3.2. Utang dan Ketergantungan pada Pembiayaan Luar
Banyak BUMN menggunakan skema utang luar negeri dan obligasi korporasi untuk menutupi defisit. Dalam jangka pendek, hal ini terlihat seperti solusi. Namun, dalam jangka panjang, beban bunga dan risiko kurs dolar menekan kinerja keuangan. Sebagian besar pendapatan akhirnya digunakan untuk membayar bunga, bukan untuk investasi produktif.
3.3. Proyek Mercusuar dan Instruksi Politik
BUMN sering menjalankan proyek-proyek non-ekonomis atas instruksi pemerintah, seperti pembukaan rute penerbangan ke daerah terpencil tanpa subsidi, atau pembangunan infrastruktur yang tidak layak secara finansial. Tujuannya bukan efisiensi ekonomi, melainkan pencitraan politik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa BUMN masih menjadi instrumen kekuasaan, bukan entitas profesional.
3.4. Subsidi dan Harga Politik
Harga listrik, BBM, dan air sering kali ditahan pada tingkat tertentu demi menjaga stabilitas politik. Kebijakan ini memang populer, tetapi menghancurkan arus kas BUMN. Ketika harga jual lebih rendah dari harga pokok produksi, BUMN dipaksa menanggung beban. Kompensasi dari pemerintah sering terlambat, membuat laporan keuangan merah setiap tahun.
3.5. Korupsi dan Kebocoran Anggaran
Kasus korupsi di BUMN telah berulang kali mencuat ke publik: mulai dari Garuda Indonesia, Jiwasraya, Asabri, hingga Pertamina. Bentuknya beragam, seperti mark-up pengadaan, manipulasi kontrak, hingga penggelapan investasi.
Korupsi menciptakan distorsi besar dalam keuangan BUMN dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
4. Ilusi Rugi dan Manipulasi Akuntansi
Tidak semua laporan rugi BUMN mencerminkan kondisi finansial yang sesungguhnya. Banyak “kerugian” yang bersifat akuntansi, bukan arus kas nyata, seperti penurunan nilai aset (impairment), selisih kurs, atau perubahan kebijakan depresiasi.
Namun, persoalan yang lebih serius adalah kurangnya transparansi publik. Sebagian besar laporan keuangan BUMN tidak mudah diakses masyarakat. Ketika kerugian diumumkan, publik tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik angka-angka tersebut.
Transparansi yang rendah inilah yang memungkinkan terjadinya manipulasi laporan untuk menutupi kesalahan manajerial maupun politis.
5. Paradoks Ekonomi Politik: Rakyat Bayar Dua Kali
Fenomena ini menunjukkan paradoks ekonomi politik yang menimpa rakyat. Masyarakat membayar tagihan listrik, BBM, air, dan telekomunikasi sebagai pelanggan — itu pembayaran pertama. Lalu, ketika BUMN merugi, negara menggunakan APBN untuk menyuntik modal — dan APBN itu bersumber dari pajak rakyat — itulah pembayaran kedua.
Dengan demikian, rakyat menjadi penanggung kerugian sekaligus penyelamat korporasi yang gagal dikelola dengan benar.
Hal ini memperlihatkan ketimpangan struktural antara pengelola BUMN (elite birokrasi) dan pengguna layanan (rakyat).
6. BUMN Sebagai Alat Kekuasaan
Sejak awal reformasi, harapan terhadap profesionalisasi BUMN sangat tinggi. Namun, faktanya, BUMN masih menjadi instrumen kekuasaan politik dan ekonomi. Jabatan direksi dan komisaris sering kali digunakan sebagai sarana patronase.
Kondisi ini melahirkan empat distorsi utama:1. Politik rente dalam pengangkatan pejabat.
2. Penyalahgunaan BUMN sebagai sumber pembiayaan politik.
3. Pembangunan proyek pencitraan yang tidak menguntungkan.
4. Minimnya tanggung jawab publik terhadap kerugian keuangan.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap BUMN semakin menurun.
7. Dampak Sosial dan Ekonomi terhadap Rakyat
Kerugian BUMN berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
- Tarif naik — meskipun rakyat sudah membayar, kerugian BUMN dijadikan alasan kenaikan harga layanan.
- Pelayanan menurun — inefisiensi membuat kualitas layanan publik memburuk.
- Beban pajak meningkat — dana talangan BUMN berasal dari pajak rakyat.
- Ketimpangan ekonomi melebar — keuntungan dinikmati segelintir elite, sedangkan rakyat menanggung rugi.
Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap negara.
8. Reformasi dan Model Tata Kelola Ideal
8.1. Audit Independen dan Transparansi Publik
Setiap BUMN wajib diaudit secara terbuka oleh lembaga independen. Hasil audit dipublikasikan secara daring agar publik dapat mengawasi. Transparansi bukan ancaman bagi negara, melainkan fondasi kepercayaan publik.
8.2. Profesionalisasi Direksi dan Komisaris
Rekrutmen pimpinan harus berbasis kompetensi dan rekam jejak profesional, bukan kedekatan politik. Pengangkatan direksi harus melewati mekanisme fit and proper test terbuka, serta memiliki kontrak kinerja yang jelas.
8.3. Pemisahan Fungsi Bisnis dan Sosial
BUMN harus dibedakan antara yang berorientasi laba dan yang berorientasi pelayanan publik. Dengan pemisahan ini, laporan keuangan akan lebih akurat dan kebijakan subsidi dapat diukur dengan jelas.
8.4. Efisiensi dan Transformasi Digital
Digitalisasi operasional wajib diterapkan untuk meminimalkan kebocoran, mempercepat pengawasan, dan mengurangi biaya operasional. Teknologi audit berbasis data (data-driven governance) harus menjadi standar nasional BUMN.
8.5. Akuntabilitas dan Etika Publik
Selain mekanisme bisnis, BUMN perlu menegakkan prinsip etika publik: integritas, tanggung jawab, dan keberpihakan kepada rakyat. Direksi harus memahami bahwa uang yang dikelolanya adalah amanah publik, bukan keuntungan pribadi.
9. Refleksi Filosofis: Amanah dan Keadilan Sosial
Masalah BUMN tidak hanya teknis, melainkan juga moral.
Ketika rakyat membayar listrik, bensin, air, dan telepon, mereka sesungguhnya menyerahkan kepercayaan kepada negara. Namun ketika uang itu bocor di tangan yang tidak amanah, maka yang rusak bukan hanya neraca keuangan, melainkan tata moral bangsa.
Pancasila menempatkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai sila kelima. Namun keadilan ekonomi tidak akan terwujud bila instrumen ekonomi negara tidak dikelola dengan adil dan transparan.
BUMN seharusnya menjadi simbol solidaritas dan kemandirian nasional — bukan menjadi beban fiskal dan sarana pembiayaan politik.
10. Kesimpulan
Paradoks “rakyat bayar, negara rugi” merupakan cermin dari kegagalan tata kelola BUMN di Indonesia. Kerugian bukan disebabkan oleh kurangnya pendapatan dari rakyat, melainkan oleh salah urus, korupsi, intervensi politik, dan lemahnya akuntabilitas publik.
Untuk mengakhiri ironi ini, negara perlu menegakkan prinsip dasar:
- Integritas sebagai pondasi tata kelola.
- Transparansi sebagai kewajiban moral.
- Profesionalisme sebagai sistem manajemen.
- Keadilan sosial sebagai orientasi kebijakan.
Rakyat sudah membayar dengan uang, waktu, dan kesabaran. Kini giliran negara membayar dengan kejujuran, keadilan, dan keberanian mereformasi diri.
“Rakyat membayar untuk kenyamanan, namun yang mereka terima adalah kesengsaraan dari salah urus. Jika BUMN tetap dijalankan tanpa nurani dan integritas, maka kerugian tidak lagi menjadi angka di laporan keuangan, melainkan luka dalam kepercayaan publik terhadap negara.” (Alim Academia)
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar