Senin, 01 Desember 2025

Indonesia Dijarah: Mengapa Dunia Berebut Kaya dari Sumber Daya Kita?

Oligarki, Investor, dan Nafsu Tanpa Batas: Mengapa Indonesia Terus Menjadi Sasaran?

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa) 


Portal Suara Academia: Indonesia adalah salah satu negara paling kaya di dunia dari sisi sumber daya alam, letak strategis, dan potensi ekonomi. Namun kenyataannya, kekayaan itu justru menjadi magnet bagi negara asing, korporasi multinasional, bahkan kartel ekonomi global yang ingin memanfaatkan semua itu untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Banyak wilayah kaya SDA di Indonesia justru tertinggal, miskin, dan mengalami kerusakan lingkungan yang parah. Fenomena ironi ini bukan terjadi dalam satu atau dua tahun saja, tetapi berlangsung sejak masa kolonial hingga saat ini, berganti bentuk menjadi kolonialisme ekonomi modern.


Tulisan ini membongkar alasan mengapa negara lain ingin kaya dari SDA Indonesia, mengapa oligarki lokal dan investor bertindak sangat rakus, serta bagaimana solusi yang realistis dan berdaulat untuk menghentikan praktik tersebut. Artikel ini disusun berdasarkan analisis empiris, pandangan para ahli global, serta dinamika geopolitik dan ekonomi kontemporer.


1. Mengapa Negara Asing Berebut Kaya dari SDA Indonesia

1.1. Indonesia adalah “Epicentrum Resources” Dunia

Menurut analisis geopolitik Prof. Michael Klare (Hampshire College), Indonesia termasuk dalam apa yang disebut “global resource hotspots”, wilayah yang menjadi pusat perebutan kepentingan ekonomi global. Indonesia memiliki:

  • 22% cadangan nikel dunia
  • 8% cadangan timah dunia
  • salah satu emas dan tembaga terbesar dunia (Freeport, Papua)
  • 3 besar batubara ekspor dunia
  • hutan tropis nomor 3 dunia
  • laut yang menyimpan cadangan migas besar
  • biodiversitas strategis untuk industri farmasi

Negara dengan cadangan mineral strategis otomatis menjadi incaran kekuatan global. Seiring berkembangnya industri baterai listrik, energi hijau, mobil listrik, dan teknologi tinggi, kebutuhan akan nikel, kobalt, timah, dan bauksit semakin meningkat. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa berlomba-lomba mengamankan pasokan.


Ekonom Jeffrey Sachs (Columbia University) menegaskan:

“Siapa mengendalikan bahan baku masa depan, dia mengendalikan industri masa depan.”

Oleh sebab itu, Indonesia bukan hanya kaya SDA—Indonesia adalah kunci masa depan industri dunia.


1.2. Indonesia lemah dalam industrialisasi jangka panjang

Banyak negara kaya SDA mampu menjadi negara maju karena mereka menguasai proses industrialisasi, seperti:

  • Norwegia: minyak dan gas
  • Kanada: mineral dan kehutanan
  • Jepang dan Korea Selatan: industri teknologi tinggi berbasis impor bahan baku

Namun Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor bahan mentah. Data Bank Dunia menunjukkan nilai tambah industri Indonesia masih rendah, sehingga keuntungan besar justru dinikmati negara yang mengolah bahan baku tersebut.

  • Untuk 1 ton nikel, perbedaan nilai:
  • Ekspor bijih nikel mentah: Rp 3–4 juta
  • Produk baterai EV: bisa mencapai Rp 300–400 juta
  • Negara lain tentu mengincar keuntungan besar itu.


1.3. Indonesia strategis secara geografis

Indonesia berada di pusat jalur perdagangan global:

  • Selat Malaka
  • Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
  • Laut Cina Selatan
  • Samudera Pasifik dan Hindia

Sekitar 40% perdagangan dunia melewati wilayah Indonesia. Letak strategis ini membuat Indonesia secara geopolitik sangat penting. Negara yang dapat mempengaruhi kebijakan Indonesia bisa mengamankan jalur supply chain globalnya.

Inilah yang membuat kekuatan asing ingin “menjinakkan” Indonesia melalui investasi, utang, kerjasama ekonomi, dan lobi politik.


2. Mengapa Oligarki dan Investor Begitu Rakus dan Egois

2.1. Oligarki terbentuk dari gabungan kekuatan politik–bisnis

Prof. Jeffrey Winters (Northwestern University), ahli politik Indonesia, menyebut Indonesia sebagai:

“Oligarchic Capitalism” — kapitalisme yang dikendalikan kelompok kecil yang kaya luar biasa.”

Kelompok oligarki:

  • menguasai tambang
  • menguasai energi
  • menguasai lahan sawit jutaan hektar
  • menguasai media massa
  • masuk ke politik dan DPR
  • membiayai kampanye politik

Dengan kekuatan ekonomi dan politik tersebut, mereka dapat membentuk aturan yang menguntungkan kepentingan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan SDA.

Oligarki inilah yang sering memberi “karpet merah” bagi investor asing untuk mengeruk SDA, karena keuntungan jangka pendek yang mereka dapatkan jauh lebih besar daripada memikirkan dampak jangka panjang bagi rakyat.


2.2. Investor asing hanya mengejar profit, bukan tanggung jawab sosial

Peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz mengingatkan:

“Investor multinasional akan selalu mencari negara yang memberikan biaya rendah, pajak minim, dan regulasi lemah.”

Indonesia menjadi target empuk karena:

  • aturan sering bisa dinegosiasi
  • aparat hukum mudah ditekan
  • pengawasan lingkungan lemah
  • konsesi tambang luas
  • daerah butuh pendapatan cepat
Investor asing memiliki strategi klasik:

1. Masuk dengan menawarkan investasi besar

2. Negosiasi kontrak panjang (20–50 tahun)

3. Menguasai aset SDA

4. Mengirim keuntungan ke negara asal

5. Meninggalkan kerusakan lingkungan ketika selesai

Model ini terjadi di Afrika, Asia Tenggara, hingga Amerika Latin — termasuk Indonesia.


2.3. Negara tidak cukup kuat menghadapi konsolidasi modal

Menurut ekonom politik Prof. Richard Robison:

“Di Indonesia, negara bukan hanya lemah, tetapi sering ditumpangi kepentingan oligarki.”

Artinya:

  • negara tidak independen dalam membuat kebijakan
  • kebijakan sering mengikuti kepentingan pemodal
  • pengawasan sangat lemah
  • aparat birokrasi minim kapasitas
  • konflik kepentingan sangat luas
  • Inilah yang membuat investor asing berani bertindak agresif dan tidak peduli dampaknya.


3. Dampak Nyata bagi Penduduk Indonesia

3.1. Kerusakan lingkungan masif

Laporan WALHI dan Greenpeace menunjukkan:

  • hutan Kalimantan hilang jutaan hektar karena tambang & sawit
  • sungai-sungai di Papua tercemar tailing tambang
  • banjir dan longsor meningkat drastis
  • konflik satwa–manusia meningkat
  • udara di beberapa kota tambang tercemar parah

Kerusakan ini bersifat jangka panjang dan sering tidak bisa dipulihkan.


3.2. Konflik sosial dan kemiskinan struktural

Ironis, daerah terparah justru daerah paling kaya:

  • Papua (Freeport)
  • Sulawesi (Nikel)
  • Kalimantan (Batu Bara)
  • Sumatera (Sawit)


Banyak masyarakat lokal masih:

  • miskin
  • memiliki akses kesehatan rendah
  • tidak mendapat pendidikan berkualitas
  • tidak mendapat ganti rugi tanah yang adil

Sementara perusahaan dan investor meraih keuntungan triliunan.


3.3. Ketergantungan negara pada investor

Jika SDA dikuasai asing, negara menjadi:

  • bergantung pada teknologi asing
  • bergantung pada modal asing
  • bergantung pada pasar asing
  • kehilangan daya tawar politik

Ini berbahaya bagi kedaulatan jangka panjang.


4. Solusi Berdaulat untuk Menghentikan Kekuatan Investor Rakus

Solusi berikut disusun berdasarkan pandangan para ahli, studi negara-negara maju, dan kondisi nasional.

4.1. Memperkuat negara (state reinforcement)

Joseph Stiglitz menegaskan bahwa negara harus:

  • memiliki regulasi yang kuat
  • bersikap independen
  • menindak tegas korporasi nakal
  • menolak lobi yang merugikan rakyat


Indonesia harus memperbaiki:

  • penegakan hukum
  • reformasi birokrasi
  • transparansi data pertambangan
  • koordinasi antar lembaga
  • sistem digital audit dan pengawasan

Negara yang kuat tidak mudah dipermainkan investor.


4.2. Nasionalisasi Strategis yang Bertahap

Ekonom Ha-Joon Chang menjelaskan bahwa nasionalisasi yang baik harus:

  • bertahap
  • adil
  • tidak memunculkan konflik internasional
  • melibatkan profesional
  • meningkatkan kapasitas teknologi dalam negeri

Contoh sukses: Norwegia menguasai minyaknya melalui Equinor.


Indonesia bisa:

  • menaikkan porsi kepemilikan negara
  • mengambil alih konsesi yang melanggar
  • mengambil alih tambang besar yang kontraknya berakhir
  • memberikan peluang BUMN dan BUMD yang sehat


4.3. Hilirisasi yang benar-benar untuk rakyat

Hilirisasi tidak boleh dikuasai oligarki. Harus:

  • mempekerjakan tenaga lokal
  • memberi pendidikan vokasi
  • menciptakan industri turunan
  • memastikan nilai tambah tinggal di Indonesia
  • mengatur standar lingkungan ketat

Hilirisasi harus mengurangi ekspor mentah dan meningkatkan manufaktur nasional.


4.4. Moratorium dan penataan ulang izin

Harus ada langkah berani:

  • moratorium tambang baru
  • moratorium perluasan sawit
  • audit izin tumpang tindih
  • penegakan aturan lingkungan
  • penertiban mafia tanah

Negara seperti Brasil, Kanada, dan Norwegia pernah melakukan hal ini dengan sukses.


4.5. Perlindungan masyarakat adat dan lokal

Berdasarkan standar UNDRIP, Indonesia harus:

  • memberikan persetujuan bebas (FPIC)
  • memberi kompensasi layak
  • mengakui hak adat
  • melibatkan warga dalam keputusan
  • mendistribusikan hasil pendapatan SDA ke daerah secara adil

Masyarakat lokal harus menjadi subjek, bukan korban.


4.6. Transparansi penuh dalam kontrak SDA

Negara-negara Afrika kini membuka seluruh kontrak tambang secara publik. Indonesia harus:

  • mempublikasikan kontrak
  • mempublikasikan data produksi
  • mempublikasikan pajak dan royalti
  • menerapkan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative)

Transparansi membuat oligarki sulit bermain.


5. Penutup: Indonesia Harus Mengambil Kembali Haknya

Kekayaan alam Indonesia adalah milik rakyat. Namun selama puluhan tahun, kekayaan itu dinikmati lebih banyak oleh investor asing dan oligarki lokal, sementara kerusakan dan kemiskinan ditanggung rakyat.

Solusi untuk keluar dari lingkaran kolonialisme ekonomi modern bukan sekadar slogan kedaulatan, tetapi:

  • tata kelola yang kuat
  • negara yang independen
  • regulasi yang tegas
  • keberanian politik
  • pengawasan rakyat

Bangsa Indonesia harus memilih jalan berdaulat: mengelola kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, Indonesia bukan hanya merdeka secara politik, tetapi juga merdeka secara ekonomi.  (Obasa)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini