Kamis, 26 Juni 2025

SISTEM DAN MODEL DEMOKRASI PEMILIHAN REKTOR DAN DEKAN: KETIKA SENAT HANYA MENGUSULKAN, BUKAN MEMILIH

Analisis Kritis terhadap Statuta Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia

Oleh: Basa Alim Tualeka (obasa). 
Pengamat Sosial Politik dan Kebijakan Publik


Puisi : 

“Suara Senat yang Hilang”

Di balai megah itu, senat berkumpul,
Berjubah ilmiah, bermandat luhur,
Namun saat tiba waktunya memilih,
Mereka hanya menulis nama, lalu menunggu kuasa lain menentukan.

Mereka dipanggil lembaga tertinggi,
Penjaga nilai, pengarah ilmu,
Namun tangan mereka diikat statuta,
Hanya boleh menunjuk, tak boleh memilih.

Rektor datang bukan pilihan mereka,
Dekan hadir bukan suara mereka,
Kampus menjadi istana sepi,
Di mana debat tak lagi membakar semangat.

Oh senat, bangkitlah dari tidurmu!
Suaramu bukan sekadar saran,
Tapi nafas akademik yang mesti merdeka,
Agar kampus bukan sekadar birokrasi tanpa nurani.

Mari kita buka pintu demokrasi sejati,
Tempat visi-misi diuji di forum terbuka,
Tempat yang dipilih adalah yang terbaik,
Bukan yang terdekat dengan kuasa.

Ayo senat, jangan hanya ada di nama,
Hidupkan kembali martabat akademik,
Karena tanpa kau memilih pemimpinmu,
Ilmu akan layu di bawah bayang-bayang kekuasaan. (Obasa). 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Demokrasi dalam pendidikan tinggi seharusnya menjadi teladan bagi kehidupan berbangsa. Kampus bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga wadah pembentukan nilai-nilai etika, partisipasi, dan akuntabilitas. Sayangnya, model pemilihan rektor dan dekan di banyak PTN dan PTS di Indonesia masih mengandung ironi: senat universitas dan senat fakultas hanya diberi kewenangan mengusulkan, bukan memilih.

Kondisi ini menimbulkan fenomena demokrasi semu atau “denokraei”, di mana struktur demokratis tampak di permukaan, namun secara substansial dimonopoli oleh otoritas luar akademik: menteri atau yayasan.


A. Sistem dan Model Pemilihan di PTN dan PTS

1. Perguruan Tinggi Negeri (PTN)

Pemilihan rektor:

Senat universitas mengusulkan tiga nama calon.

Menteri Pendidikan memiliki 35% hak suara (Permendikbud No. 19 Tahun 2017).

65% suara lainnya berasal dari senat.

Pemilihan dekan:

Umumnya dilakukan oleh rektor berdasarkan usulan senat fakultas, tanpa pemilihan terbuka.


2. Perguruan Tinggi Swasta (PTS)

Pemilihan rektor dan dekan:

Senat universitas atau fakultas mengusulkan nama calon.

Keputusan akhir ada pada yayasan atau dewan pembina.

Tidak ada sistem pemilihan oleh senat.


B. Peran Senat yang Terbatas: Ada Tapi Seolah Tiada

Senat universitas dan senat fakultas seharusnya menjadi institusi penjaga nilai akademik tertinggi. Namun dalam praktiknya:

  • Senat hanya menjadi pengantar berkas, bukan penentu keputusan.
  • Tanpa hak memilih, senat kehilangan daya kritis dan fungsi pengawasan.

Hal ini membuat senat berada dalam posisi yang paradoks: secara struktur ada, tapi secara fungsi tidak bermakna.


C. Analisis dan Pendapat Para Ahli

Prof. Dr. Yayan Rahmat, M.Si.

(Ahli Demokrasi Kampus – Universitas Indonesia)

“Demokrasi kampus bukan hanya tentang prosedur, tapi substansi partisipasi. Ketika senat tidak punya hak memilih, itu bukan demokrasi partisipatif, tapi demokrasi prosedural—bahkan simbolik.”


Dr. Rika Kurniawati, M.PA.

(Pakar Kebijakan Publik – Universitas Gadjah Mada)

“Senat yang dikebiri perannya akan melemahkan akuntabilitas rektor maupun dekan. Mereka akan lebih loyal ke pengangkat, bukan ke civitas akademika.”


Dr. Andi Rachmatullah, Ph.D.

(Peneliti Governance Pendidikan Tinggi – LIPI)

“Kampus jadi seperti perusahaan keluarga. Kalau yayasan atau menteri menentukan segalanya, maka semangat meritokrasi dan otonomi akademik hilang.”


D. Konsekuensi Model Demokrasi Semu di Kampus

1. Legitimasi Akademik Pimpinan Lemah

Tanpa keterlibatan senat secara langsung, rektor dan dekan tidak mewakili suara akademik.

2. Budaya Akademik Terkikis

Dosen dan mahasiswa tidak merasa memiliki proses kepemimpinan kampus.

3. Feodalisme Struktural

Pimpinan loyal pada struktur vertikal (menteri/yayasan), bukan pada horizontal (komunitas akademik).

4. Senat sebagai Ornamen Statuta

Keberadaan senat hanya formalitas administratif, bukan sebagai aktor strategis.


E. Rekomendasi Perubahan Sistem

✅ 1. Revisi Statuta dan Regulasi Nasional

Perlu regulasi yang menjamin hak senat untuk memilih, bukan hanya mengusulkan.


✅ 2. Transparansi dan Musyawarah Akademik

Calon rektor dan dekan wajib melalui forum debat terbuka dan uji publik di kampus.


✅ 3. Reduksi Intervensi Politik dan Kepentingan Yayasan

Perlu batasan peran yayasan atau menteri agar tidak mendominasi hasil pemilihan.


✅ 4. Penguatan Otonomi Akademik

Pengelolaan perguruan tinggi harus berdasarkan prinsip keilmuan, bukan kekuasaan struktural semata.


Penutup

Kampus adalah benteng nilai-nilai demokrasi, bukan ladang kuasa elite birokrasi atau yayasan. Demokrasi sejati di kampus hanya bisa lahir jika senat universitas dan fakultas diberi wewenang penuh untuk memilih, bukan sekadar mengusulkan.

“Jika demokrasi kampus hanya berhenti pada wacana, maka kita sedang mencetak generasi akademik yang apatis, bukan kritis.”

Saatnya kampus Indonesia keluar dari perangkap denokrasi—dan memasuki era demokrasi akademik sejati, dengan senat sebagai pelaku, bukan penonton. (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini