Kamis, 21 Agustus 2025

Pemberhentian Presiden dan Kepala Daerah di Indonesia: Perspektif Konstitusional, Yuridis, dan Akademik

Pemberhentian Presiden dan Kepala Daerah di Indonesia: Perspektif Konstitusional, Yuridis, dan Akademik

Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)


Puisi: 

Kursi yang Dijaga Konstitusi

Kursi itu bukan milik pribadi,
Bukan pula hadiah dari kerumunan,
Ia lahir dari suara rakyat,
Dititipkan pada waktu yang terbatas.

Angin jalanan bisa berteriak,
Gelombang massa bisa mengguncang,
Namun kursi itu berdiri,
Karena dijaga oleh konstitusi.

Hukum adalah pagar besi,
Yang memisahkan nafsu dari keadilan,
Yang menuntun bangsa,
Agar tak terseret arus amarah sesaat.

O, pemimpin negeri…
Kau bukan raja yang tak tergugat,
Kau hanya mandat yang bisa ditarik,
Namun hanya lewat pintu hukum,
Bukan lewat pekik di jalan.

Rakyatlah sumber kuasa,
Konstitusilah pengawal kuasa,
Sejarah menulis pesan jelas:
Jabatan hanyalah amanah,
Bukan tahta abadi. (Obasa). 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Sistem politik Indonesia menganut demokrasi konstitusional yang mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945) serta pemisahan kekuasaan (separation of powers). Presiden, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Dengan demikian, keberadaan mereka tidak dapat diputuskan sepihak oleh kelompok manapun, termasuk melalui demonstrasi politik.

Mekanisme pemberhentian hanya dapat ditempuh melalui jalur hukum dan konstitusional, untuk menjaga stabilitas pemerintahan serta menjamin legitimasi demokrasi.


Landasan Konstitusional

1. Pasal 7 UUD 1945:

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.

2. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945:

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis.

3. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun kebebasan ini tidak menghapus prosedur hukum yang berlaku dalam hal pemberhentian pejabat publik.


Mekanisme Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden

1. Alasan Pemberhentian (Pasal 7A UUD 1945)

Presiden/Wapres hanya dapat diberhentikan karena:

  • Pengkhianatan terhadap negara,
  • Korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
  • Perbuatan tercela,
  • Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wapres.


2. Prosedur Pemberhentian (Pasal 7B UUD 1945)

  • DPR mengusulkan pemberhentian kepada MPR.
  • Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa dan memutus apakah Presiden/Wapres terbukti melakukan pelanggaran.
  • MPR memutuskan pemberhentian berdasarkan putusan MK.


3. Rujukan Undang-Undang

UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang memberi MK kewenangan memutus dugaan pelanggaran Presiden/Wapres.


Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo. UU No. 9 Tahun 2015:

Kepala daerah dapat diberhentikan karena:

1. Melanggar sumpah/janji jabatan,

2. Tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah,

3. Terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun,

4. Terbukti melakukan perbuatan tercela.


Proses pemberhentian:

Presiden memberhentikan Gubernur,

Menteri Dalam Negeri memberhentikan Bupati/Wali Kota,

Dasarnya adalah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau pemeriksaan administrasi yang sah.


Demonstrasi: Hak Konstitusional, Bukan Mekanisme Pencopotan

Demonstrasi dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sebagai hak warga negara.

Namun, demonstrasi tidak otomatis menjadi dasar pemberhentian pejabat publik.

Demonstrasi adalah instrumen kontrol sosial, bukan mekanisme hukum.

Mekanisme legal untuk mengganti pejabat tetap harus melalui prosedur konstitusional dan peraturan perundang-undangan.


Pandangan dan Kajian Para Ahli

1. Fahri Bachmid (Ahli Hukum Tata Negara)

Impeachment adalah proses “very complicated” karena melibatkan DPR, MK, dan MPR. Mekanisme ini didesain agar tidak mudah dipolitisasi.

2. Catur Alfath Satriya Hakim

Pasca-amandemen UUD 1945, dimensi hukum lebih diutamakan dibanding dimensi politik dalam pemberhentian pejabat, untuk menjaga stabilitas presidensialisme.

3. Sunarto Efendi dkk.

Putusan MK seharusnya bersifat otomatis mengikat, agar tidak terjadi kebuntuan politik di MPR.

4. Muhammad Bahrul Ulum

Demonstrasi bisa memicu proses politik, tetapi prosedur hukum tetap menjadi prasyarat mutlak pemberhentian pejabat.


Analisis Akademik

1. Stabilitas Pemerintahan

Mekanisme hukum yang berlapis mencegah instabilitas akibat tekanan politik sesaat.


2. Checks and Balances

Proses DPR → MK → MPR menjamin tidak ada lembaga yang dapat memberhentikan Presiden secara sepihak.


3. Legitimasi Demokratis

Karena Presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, pencopotan harus mempertimbangkan mandat elektoral, bukan sekadar opini kelompok tertentu.


4. Perbandingan dengan Negara Lain

Di Amerika Serikat, impeachment Presiden melibatkan DPR (House) dan Senat, tanpa peran peradilan konstitusional.

Di Indonesia, keterlibatan MK memberi bobot yuridis-konstitusional yang lebih kuat sehingga proses tidak sekadar politis.


Kesimpulan

Presiden, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memiliki mandat rakyat untuk masa jabatan tertentu. Mereka hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme hukum yang jelas, sesuai UUD 1945 dan undang-undang terkait.

Demonstrasi adalah hak warga negara untuk mengontrol pemerintah, tetapi tidak dapat menjadi alasan langsung untuk pemberhentian pejabat publik. Prinsip ini menjamin stabilitas pemerintahan, mencegah manipulasi politik jangka pendek, dan memastikan bahwa setiap pergantian pemimpin dilakukan dalam koridor hukum dan konstitusi. (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini