Rabu, 20 Agustus 2025

RANGKAP JABATAN BERBAU KKN, MONOPOLI, PEMBOROSAN ANGGARAN DAN KRISIS ETIKA BIROKRASI

RANGKAP JABATAN BERBAU KKN, MONOPOLI, PEMBOROSAN ANGGARAN DAN KRISIS ETIKA BIROKRASI

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa). 


Puisi: 

"Kursi yang Terlalu Banyak"

Di ruang birokrasi, kursi-kursi berjejer rapi,
Namun hanya segelintir yang duduk di sana,
Satu tubuh, dua kursi, bahkan tiga,
Seolah jabatan adalah warisan, bukan amanah.

Rakyat menunggu pelayanan,
Tapi yang datang hanya bayangan,
Waktu pejabat terbagi,
Hati pejabat terbeli.

Rangkap jabatan, wajah KKN terselubung,
Monopoli kekuasaan yang merenggut napas keadilan,
Uang negara bocor perlahan,
Sementara etika terkubur dalam diam.

O, negeri…
Apakah kursi-kursi itu terlalu sedikit,
Ataukah nafsu manusia terlalu besar?
Jabatan bukanlah harta,
Ia titipan, ia amanah,
Ia bukan untuk digandakan,
Apalagi diperdagangkan.

Biarlah kursi berbicara,
“Duduki aku dengan tulus,
Bukan dengan serakah.” (obasa). 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Rangkap jabatan di kalangan pejabat publik masih menjadi fenomena yang sulit diberantas di Indonesia. Tidak jarang seorang pejabat memegang lebih dari satu kursi strategis, baik di kementerian, lembaga negara, maupun badan usaha milik negara (BUMN). Praktik ini kerap dibungkus dengan alasan “efisiensi” dan “kepercayaan politik”, padahal di baliknya tersimpan berbagai masalah serius: potensi KKN, konflik kepentingan, monopoli kekuasaan, pemborosan keuangan negara, dan krisis etika birokrasi.

Berbagai pakar dan lembaga pengawas telah berulang kali melontarkan kritik. Ombudsman menyoroti bahaya maladministrasi, KPK mengingatkan risiko korupsi, sementara akademisi menilai praktik ini merusak profesionalisme birokrasi serta prinsip check and balance. Dengan kata lain, rangkap jabatan bukan hanya melanggar prinsip good governance, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap negara.

Melalui artikel ini, akan dibahas bagaimana rangkap jabatan beroperasi, dampaknya bagi birokrasi dan masyarakat, serta kritik dari para ahli yang menegaskan perlunya larangan tegas terhadap praktik ini.

Fenomena rangkap jabatan dalam birokrasi dan lembaga negara kembali menjadi sorotan publik. Banyak pejabat yang menduduki lebih dari satu posisi strategis secara bersamaan, misalnya wakil menteri yang juga menjadi komisaris BUMN. Praktik ini kerap dibenarkan dengan alasan efisiensi dan kepercayaan politik, namun pada kenyataannya menimbulkan berbagai persoalan serius: konflik kepentingan, potensi KKN, monopoli kekuasaan, pemborosan keuangan negara, serta krisis etika birokrasi.


1. Konflik Kepentingan dan Potensi KKN

Rangkap jabatan menciptakan ruang konflik kepentingan. Pejabat yang mengendalikan dua jabatan sekaligus berpotensi menggunakan wewenangnya untuk memperkuat kepentingan pribadi, kelompok, atau partai politik.

Alamsyah Saragih (Ombudsman RI) menegaskan bahwa rangkap jabatan berisiko pada penghasilan ganda, penempatan orang yang tidak kompeten, hingga praktik maladministrasi. Ratusan komisaris di BUMN dan anak perusahaan disebut tidak sesuai kapasitasnya, membuka celah korupsi.

Agus Rahardjo (mantan Ketua KPK) juga mengingatkan bahwa rangkap jabatan melemahkan pengawasan. Dengan tanggung jawab terbagi, pejabat tidak bisa maksimal melakukan pengawasan, sehingga risiko korupsi semakin besar.


2. Monopoli Kekuasaan dan Lemahnya Check and Balance

Dengan menguasai lebih dari satu posisi, seorang pejabat berpotensi melakukan monopoli keputusan. Hal ini berbahaya karena menghilangkan mekanisme kontrol internal.

Yance Arizona (UGM) dan Aan Eko Widiarto (UB) menilai praktik rangkap jabatan menggerus prinsip check and balance. Penempatan wamen di kursi komisaris menunjukkan kompromi awal yang melemahkan profesionalisme birokrasi.

Akibatnya, dinamika organisasi lumpuh, ide-ide segar sulit berkembang, dan konsentrasi kekuasaan terpusat pada segelintir elit.


3. Pemborosan Keuangan Negara

Alih-alih efisiensi, rangkap jabatan justru menciptakan pemborosan anggaran. Pejabat rangkap jabatan tetap menerima tunjangan dan fasilitas dari setiap posisi, meskipun ada regulasi yang membatasi gaji hanya satu.

Indria Febriansyah menekankan bahwa isu bukan hanya soal gaji, melainkan akses dan privilege yang melekat pada jabatan rangkap. Pengaruh ganda inilah yang menguntungkan elit politik namun merugikan rakyat.

Selain itu, kualitas kinerja berpotensi menurun. Satu orang tidak mungkin optimal menjalankan tanggung jawab besar di dua jabatan sekaligus.


4. Krisis Etika dalam Birokrasi

Birokrasi modern menuntut profesionalisme, meritokrasi, dan transparansi. Rangkap jabatan justru bertentangan dengan prinsip tersebut.

Dwi Purwanto (Pratama Institute) menyebut rangkap jabatan sebagai pelanggaran prinsip Good Corporate Governance (GCG). Celah regulasi membuat praktik ini tetap berjalan meski bertentangan dengan UU Pelayanan Publik.

Herlambang P. Wiratraman (UGM) menilai rangkap jabatan menunjukkan rendahnya standar etika politik. Akibatnya, pejabat tidak fokus pada tugas utama, kualitas layanan publik menurun, dan demokrasi bisa tercederai.

Rangkap jabatan juga menutup kesempatan bagi pejabat lain yang kompeten, mengabaikan asas keadilan, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap birokrasi.


5. Merusak Keadilan Sosial dan Independensi Pengawasan

Muji Kartika Rahayu menyoroti aspek ketidakadilan moral. Honorarium komisaris yang terkait dengan laba perusahaan membuat pejabat lebih fokus pada keuntungan finansial daripada pelayanan publik.

Transparency International Indonesia (Danang Widoyoko) menilai penempatan pejabat politik di BUMN justru melemahkan independensi pengawasan, menambah beban perusahaan, dan memperbesar peluang KKN.


6. Solusi dan Rekomendasi Pakar

Untuk mengatasi dampak buruk rangkap jabatan, para pakar merekomendasikan:

  1. Larangan tegas rangkap jabatan lewat UU atau Perpres, kecuali dalam keadaan darurat dengan batas waktu tertentu.
  2. Rekrutmen berbasis merit agar jabatan diisi oleh orang yang berkompeten, bukan karena kedekatan politik.
  3. Transparansi finansial: gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat harus dipublikasikan untuk mencegah pemborosan.
  4. Pengawasan independen oleh KPK, BPK, dan Ombudsman agar praktik rangkap jabatan tidak dibiarkan menjadi budaya.
  5. Etika birokrasi harus ditegakkan agar pejabat memandang jabatan sebagai amanah, bukan privilese yang bisa dikumpulkan.


Kesimpulan

Rangkap jabatan bukan sekadar masalah administratif, tetapi merupakan persoalan serius yang menyangkut integritas, keadilan, dan etika birokrasi. Praktik ini memperbesar peluang KKN, monopoli kekuasaan, pemborosan anggaran, serta merusak demokrasi dan kepercayaan publik.

Jika pemerintah serius mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, maka praktik rangkap jabatan harus dihentikan. Reformasi birokrasi sejati hanya akan terwujud melalui profesionalisme, transparansi, dan pengelolaan kekuasaan yang adil. (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini