Minggu, 14 September 2025

CSR UNTUK SOSIAL, BUKAN UNTUK PEJABAT

CSR untuk Sosial untuk Modal usaha rumah tangga atau UMKM 
Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)
Ahli Kebijakan Publik


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kewajiban moral dan legal yang dimandatkan kepada perusahaan untuk memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, CSR diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan sejumlah regulasi turunan.

Tujuan CSR jelas: memperkuat kesejahteraan masyarakat, melestarikan lingkungan, dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun dalam praktik, seringkali dana CSR “terseret” ke ranah politik. Ada kasus di mana dana CSR dialihkan untuk kepentingan anggota legislatif dan eksekutif, baik dalam bentuk fasilitas, bantuan program pribadi, atau bahkan dukungan politik.

Fenomena ini tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga mencederai moralitas publik. Bagaimana mungkin pejabat yang sudah menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas negara, masih turut “menikmati” dana CSR yang seharusnya murni untuk rakyat?


Landasan Etik dan Hukum CSR

1. CSR lahir dari keadilan sosial.

Perusahaan mengambil keuntungan dari lingkungan, tenaga kerja, dan sumber daya masyarakat. Karena itu, sebagian keuntungan harus dikembalikan kepada masyarakat sekitar.

2. CSR bukan substitusi anggaran negara.

CSR tidak boleh dipakai menggantikan kewajiban pemerintah, apalagi untuk menambah penghasilan pejabat publik. CSR murni untuk masyarakat dan lingkungan.

3. CSR harus transparan dan akuntabel.

Setiap penggunaan dana CSR wajib dilaporkan secara terbuka, diaudit, dan dapat diakses masyarakat.


Pandangan Bung Basa Alim Tualeka (Obasa)

Sebagai ahli kebijakan publik, Bung Basa Alim Tualeka (Obasa) menilai praktik penggunaan CSR oleh pejabat sebagai bentuk penyimpangan kebijakan publik. Menurutnya, terdapat empat alasan utama kenapa CSR tidak boleh jatuh ke tangan legislatif dan eksekutif:


1. CSR adalah hak rakyat, bukan hak pejabat.

Pejabat negara sudah menerima gaji dari APBN/APBD. CSR ditujukan untuk masyarakat yang sering kali menjadi korban eksternalitas bisnis perusahaan.

2. Muncul bahaya politik rente.

Ketika pejabat menerima CSR, muncul praktik barter politik antara korporasi dan elite. Perusahaan membeli perlindungan atau kemudahan regulasi, pejabat menikmati fasilitas. Hasilnya: rakyat makin jauh dari manfaat CSR.

3. Negara harus regulator, bukan penerima.

Peran eksekutif dan legislatif adalah memastikan CSR berjalan transparan, sesuai kebutuhan masyarakat, dan tidak menjadi “ladang bancakan.”

4. CSR sebagai instrumen pemberdayaan.

CSR semestinya diarahkan untuk membangun kapasitas rakyat: membiayai pendidikan anak miskin, memperkuat koperasi desa, melatih UMKM, atau menjaga kelestarian lingkungan.


Obasa sering menegaskan:

CSR bukanlah hak istimewa pejabat. CSR adalah hak rakyat kecil yang sering kali suaranya tidak terdengar. Jika CSR jatuh ke pejabat, rakyat hanya kebagian sisa. Tetapi jika CSR jatuh ke rakyat, pejabat tetap mulia karena amanahnya terjaga, dan perusahaan tetap terhormat karena CSR-nya bermanfaat.


Contoh Model CSR Ideal

1. CSR Desa Merah Putih

Obasa mengusulkan model CSR berbasis desa. Dana CSR tidak diberikan dalam bentuk konsumtif, tetapi sebagai modal bergulir tanpa bunga melalui koperasi desa. Dengan cara ini, masyarakat bisa mengakses modal usaha tanpa jerat rentenir.

2. CSR untuk Pendidikan

Perusahaan bisa menyalurkan CSR dalam bentuk beasiswa bagi anak-anak miskin berprestasi, pembangunan sekolah, atau pelatihan vokasi.

3. CSR untuk Lingkungan

Program reboisasi, energi terbarukan, dan pengelolaan sampah menjadi bukti nyata bahwa CSR mampu menyelamatkan ekologi.

4. CSR untuk UMKM

Dana CSR sebaiknya menjadi dukungan bagi pengembangan usaha mikro dan kecil, dari pelatihan digital hingga akses pasar.


Perbandingan Internasional

India: mewajibkan perusahaan besar mengalokasikan minimal 2% dari keuntungan untuk CSR, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Afrika Selatan: CSR diarahkan untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat kulit hitam sebagai bagian dari keadilan sosial pasca-apartheid.

Filipina: CSR banyak difokuskan pada mitigasi bencana dan pembangunan komunitas lokal.

Di negara-negara tersebut, tidak ada ruang bagi pejabat legislatif atau eksekutif untuk menjadi penerima langsung CSR.


Rekomendasi

1. Pertegas regulasi

Larang keras penggunaan CSR untuk kepentingan legislatif dan eksekutif.

2. Digitalisasi laporan CSR

Semua penggunaan CSR harus transparan, terpublikasi, dan bisa diakses publik.

3. Audit independen

Wajib ada lembaga auditor independen yang memeriksa penggunaan dana CSR.

4. Partisipasi masyarakat

Masyarakat harus dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi program CSR.

5. Fokus pada keberlanjutan

CSR harus diarahkan pada program jangka panjang yang berdampak pada ekonomi, pendidikan, dan lingkungan.


Penutup

CSR adalah amanah sosial yang suci. Ia bukan milik pejabat, bukan milik legislatif atau eksekutif, melainkan hak rakyat. Jika CSR dikelola dengan benar, ia bisa menjadi instrumen keadilan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan kelestarian lingkungan.

Sebaliknya, jika CSR dikorupsi atau dijadikan alat politik, ia hanya memperpanjang daftar luka bangsa.

Seperti dikatakan Bung Basa Alim Tualeka (Obasa):

CSR adalah jembatan antara perusahaan dan rakyat. Jangan biarkan jembatan itu runtuh karena tamak segelintir elite.” (Alim Academia)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini