Kisah Para Sahabat Nabi, Takut Mati, Melawan Ego, dan Jalan Menjadi Pemenang
Oleh: Basa Alim Tualeka (Obasa)
Puisi:
"Melawan Ego, Meraih Cahaya"
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Kematian adalah misteri, kepastian tanpa kepastian waktu. Ia adalah pintu pertama menuju akhirat, yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Dalam tradisi Islam, kematian bukan sekadar akhir, melainkan awal perjalanan abadi.
Para sahabat Nabi ﷺ, meski hidup dekat dengan wahyu dan dijanjikan surga, tetap dihantui rasa takut akan kematian. Rasa takut itu bukan kelemahan, tetapi kebijaksanaan spiritual: kesadaran bahwa hidup di dunia hanyalah titipan dan ujian. Dari kesadaran inilah lahir sikap rendah hati, hati yang lembut, dan ego yang tunduk.
Hari ini, manusia modern sering kali terbalik: takut miskin, takut gagal, takut kehilangan jabatan, tetapi jarang takut mati. Padahal, mengingat mati adalah cara terbaik untuk melawan kerasnya hati dan egonya sendiri.
A. Kisah Para Sahabat yang Menggali Kubur Sendiri
Para sahabat menggali kuburnya sendiri untuk selalu diingatkan akan kefanaan dunia:
Umar bin Khattab RA: “Cukuplah kematian sebagai penasihat.” Ia kerap duduk di dekat kuburan, menangis, dan berkata: “Jika aku selamat di kubur, aku akan tenang setelahnya.”
Utsman bin Affan RA: Menangis ketika melihat kubur, lebih dari saat mendengar surga dan neraka. Kubur baginya adalah titik kritis nasib manusia.
Salman Al-Farisi RA: Menggali kubur di samping rumahnya, agar setiap pulang ia sadar bahwa dunia bukan tempat tinggal selamanya
Abu Darda RA: Mengajarkan muridnya, “Banyaklah mengingat mati, maka ringanlah dunia di matamu.”
Tradisi ini adalah latihan spiritual untuk melembutkan hati, menundukkan ego, dan menguatkan iman.
B. Melawan Hati Keras dan Ego: Musuh Abadi Manusia
Ego (nafs) adalah musuh terbesar manusia. Ia menjerumuskan ke dalam kesombongan, kelalaian, dan cinta dunia. Para ulama sufi menegaskan:
Al-Ghazali: “Ego adalah hijab terbesar antara manusia dengan Allah. Barang siapa menundukkan egonya, maka hijab itu akan tersingkap.”
Ibnu Atha’illah: “Musuhmu yang paling berat adalah nafsumu sendiri yang berada di antara kedua rusukmu.”
C. Filosofi Sakit dan Ego
Sakit adalah cara Allah mendidik hamba-Nya. Ia meleburkan kesombongan, melunakkan hati, dan mengingatkan bahwa tubuh hanyalah titipan.
Ego, sebaliknya, membuat manusia merasa kuat dan tak butuh Allah. Maka sakit sering kali hadir untuk menghancurkan tembok ego.
D. Menjadi Pemenang dengan Rukun Iman dan Rukun Islam
Pemenang sejati bukanlah yang menaklukkan dunia, melainkan yang menaklukkan egonya sendiri. Islam menegaskan jalan kemenangan itu melalui:
Rukun Iman (6)
- Iman kepada Allah.
- Iman kepada malaikat.
- Iman kepada kitab-kitab-Nya.
- Iman kepada rasul-rasul-Nya.
- Iman kepada hari akhir.
- Iman kepada qadha dan qadar.
Rukun Islam (5)
- Syahadat sebagai janji tauhid.
- Shalat sebagai tiang iman.
- Zakat sebagai pembersih harta.
- Puasa sebagai latihan menahan ego.
- Haji sebagai simbol penyerahan diri total.
Rukun iman adalah pondasi keyakinan, rukun Islam adalah manifestasi nyata. Keduanya membentuk jiwa yang kuat melawan ego dan siap menghadapi kematian.
E. Doa dan Zikir Harian (Penyejuk Hati dan Penunduk Ego)
Doa
1. Allahumma inni a‘udzu bika min qalbin laa yakhsha‘, wa min nafsin laa tasyba‘, wa min du‘aain laa yusma‘.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak Engkau dengar.”
2. Allahumma ajirnii fii mushiibatii wa akhlif lii khairan minhaa.
“Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku dan gantilah dengan yang lebih baik darinya.”
Zikir Harian
Astaghfirullaahal ‘azhiim – mengakui kelemahan diri.
Subhaanallaah – membersihkan hati dari kesombongan.
Alhamdulillaah – menanamkan syukur.
Allahu Akbar – membesarkan Allah, mengecilkan ego.
Laa ilaaha illallaah – menguatkan tauhid.
Laa hawla wa laa quwwata illa billaah – melatih tawakal.
F. Studi Kasus Kontemporer: Mengingat Mati di Zaman Modern
1. Tokoh publik yang jatuh sakit keras
Banyak dari mereka baru sadar bahwa jabatan, kekayaan, dan popularitas tak berguna ketika tubuh melemah. Sakit menjadi titik balik melawan ego.
2. Pandemi COVID-19 (2020–2022)
Umat manusia di seluruh dunia dipaksa mengingat mati. Orang kaya dan miskin sama-sama rapuh di hadapan penyakit. Banyak yang kembali kepada doa dan zikir.
3. Masyarakat modern
Stress, depresi, dan penyakit jiwa meningkat karena ego yang dituruti. Psikolog modern pun menemukan terapi mindfulness—yang sejatinya mirip dengan zikir Islami—sebagai penyejuk hati.
G. Refleksi Sufi
Para sufi menekankan bahwa mati sebelum mati (maut qobla al-maut) adalah kemenangan sejati: mematikan ego, nafsu, dan kesombongan sebelum jasad benar-benar dikubur.
“Siapa yang mati egonya, hidup hatinya. Siapa yang hidup hatinya, maka ia melihat Allah dalam setiap detik hidupnya.”
H. Penutup
Kisah para sahabat Nabi ﷺ yang takut mati dan menggali kuburnya sendiri adalah teladan tentang kesadaran spiritual. Mereka tahu, pemenang sejati adalah yang mampu melawan egonya, menjalani hidup dengan iman, dan mengakhiri hidup dengan khusnul khatimah.
Bagi kita hari ini, jalan itu terbuka melalui:
- Mengingat mati setiap hari.
- Melawan ego dengan sabar dan tawakal.
- Menjalankan rukun iman dan rukun Islam.
- Berdoa dan berzikir sebagai ibadah dan penyejuk hati.
“Kalahkan egomu sebelum kematian mengalahkanmu. Karena sesungguhnya hati yang lembut adalah harta yang lebih berharga daripada dunia dan segala isinya.” – Obasa
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar