Rabu, 08 Oktober 2025

DPR: Wakil Rakyat atau Wakil Partai Politik?

Antara Idealisme, Realitas, dan Koreksi Diri Lembaga Legislatif

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa). 


Puisi : 

"Wakil Rakyat atau Wakil Partai?"

Di bawah atap gedung megah,
kata-kata lahir dari lidah yang dijaga,
namun suara rakyat entah di mana,
terlindas di antara kursi dan kuasa.

Dulu kau disapa “wakil rakyat”,
dengan janji, dengan semangat,
namun ketika pintu partai terkunci rapat,
kau tunduk, kau diam, dan taat.

Suara rakyat bagai gema di ruang kosong,
tak terdengar dalam sidang yang bergemuruh.
Tanganmu terangkat — bukan karena nurani,
tapi karena aba-aba fraksi dan janji.

Rakyat bertanya: kemana arah aspirasi kami?
Mengapa janji berubah jadi mimpi?
Mengapa kursi kekuasaan begitu memabukkan,
hingga lupa siapa yang memberi jalan?

Wahai wakil rakyat, sadarlah kembali,
amanahmu bukan milik partai atau diri,
tetapi titipan Ilahi — suara suci,
yang menuntunmu menuju arti sejati.

Jadilah lidah rakyat, bukan lidah kekuasaan,
jadilah nurani, bukan sekadar perwakilan.
Karena di hadapan Tuhan nanti,
bukan partai yang kau pertanggungjawabkan —
tetapi rakyat yang kau abaikan. 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Dalam sistem demokrasi modern, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menempati posisi sentral sebagai lembaga representasi rakyat. DPR bukan sekadar lembaga politik, tetapi simbol dari kedaulatan rakyat. Fungsi utamanya—membentuk undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menetapkan anggaran negara—merupakan fondasi kehidupan bernegara yang demokratis.

Namun, di tengah realitas politik yang penuh dengan kepentingan dan manuver, muncul pertanyaan yang menggugah nurani: apakah DPR benar-benar menjadi wakil rakyat, atau justru berfungsi sebagai wakil partai politik?

Pertanyaan ini bukan semata kritik terhadap sistem, melainkan refleksi atas perilaku para anggota DPR sendiri yang sering kali dianggap jauh dari aspirasi rakyat. Banyak kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik, banyak tindakan yang menodai moral politik, dan banyak keputusan yang lebih mencerminkan kehendak partai daripada suara rakyat.

Padahal, dalam pandangan Islam dan konstitusi bangsa, jabatan sebagai wakil rakyat adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan sekadar kekuasaan yang dinikmati.


1. Idealisme: DPR Sebagai Penjelmaan Kedaulatan Rakyat

Secara filosofis, DPR lahir dari prinsip vox populi, vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam konteks demokrasi Indonesia, rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi, dan DPR adalah instrumen untuk menyalurkan kedaulatan itu ke dalam sistem pemerintahan.

Idealnya, setiap anggota DPR berperan sebagai jembatan antara rakyat dan negara. Mereka seharusnya memperjuangkan kebutuhan masyarakat, mengawasi pemerintah, dan memastikan keadilan sosial berjalan. Rakyat memberikan mandat melalui pemilu dengan harapan wakil yang dipilihnya akan menjadi suara mereka di parlemen.

Namun, idealisme ini sering kali berhenti di tataran teori. Setelah duduk di kursi kekuasaan, banyak wakil rakyat yang lupa pada rakyatnya. Yang dulu bersalaman dengan rakyat di jalanan, kini sulit ditemui; yang dulu berbicara lantang soal keadilan, kini bungkam di hadapan kepentingan partai.

Dalam Islam, posisi seorang pemimpin atau wakil rakyat adalah amanah besar. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa: 58)

Ayat ini menjadi dasar moral bahwa kekuasaan bukan hak, melainkan titipan. Seorang wakil rakyat sejati harus memahami bahwa ia tidak sedang memerintah rakyat, melainkan melayani rakyat.


2. Realitas Politik: DPR Sebagai Perpanjangan Partai

Sistem politik Indonesia menempatkan partai sebagai satu-satunya pintu untuk menuju kursi legislatif. Tidak ada jalur independen bagi calon anggota DPR. Hal ini menciptakan struktur kekuasaan yang hirarkis: partai berada di atas, rakyat di bawah.

Akibatnya, banyak anggota DPR lebih tunduk pada keputusan partai dibandingkan pada kehendak rakyat. Garis partai (fraksi) menjadi hukum yang wajib diikuti. Bahkan ketika aspirasi masyarakat bertentangan dengan kebijakan partai, suara rakyat sering dikorbankan atas nama “disiplin fraksi.”

Fenomena ini mengubah watak lembaga legislatif. DPR yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat, berubah menjadi instrumen kepentingan politik. Rakyat yang memilih hanya menjadi angka statistik lima tahunan, sementara keputusan besar diambil berdasarkan lobi, transaksi, dan kesepakatan elite.

Maka wajar jika muncul kritik tajam dari masyarakat: “Siapa yang sebenarnya diwakili oleh DPR—rakyat atau partai?”


3. Krisis Kepercayaan Publik terhadap DPR

Kepercayaan publik terhadap DPR terus menurun dari tahun ke tahun. Lembaga survei nasional menunjukkan DPR sering berada di posisi terbawah dalam indeks kepercayaan publik, sejajar dengan partai politik.


Ada lima faktor utama penyebabnya:

1. Maraknya Korupsi dan Gratifikasi.

Banyak anggota DPR tersangkut kasus korupsi, suap, dan jual beli kebijakan. Fenomena ini menimbulkan citra bahwa DPR bukan lagi rumah rakyat, melainkan rumah transaksi kekuasaan.

2. Absensi dan Etos Kerja Rendah.

Banyak rapat penting yang tidak dihadiri anggota DPR. Beberapa hanya datang untuk absen, lalu pergi. Ketika rakyat bekerja keras demi hidup, sebagian wakilnya justru absen dari tanggung jawab.

3. Politik Uang dan Pragmatisme.

Pemilu menjadi ajang modal, bukan moral. Banyak caleg membeli suara rakyat, dan ketika terpilih, fokusnya bukan melayani rakyat, melainkan mengembalikan modal politik.

4. Minim Kedekatan dengan Konstituen.

Setelah terpilih, wakil rakyat jarang kembali ke daerah pemilihan. Hubungan dengan rakyat terputus, aspirasi tidak tersalurkan.

5. Hedonisme dan Gaya Hidup Elitis.

Ketika rakyat berjuang di tengah ekonomi sulit, sebagian anggota DPR pamer mobil mewah, pakaian mahal, dan fasilitas negara. Citra “wakil rakyat” berubah menjadi “wakil kemewahan.”

Semua ini melahirkan krisis moral dan sosial. Rakyat kehilangan rasa percaya, sementara DPR kehilangan legitimasi moral.


4. Kritik Filosofis dan Moral Islam terhadap DPR

Dalam perspektif Islam, kekuasaan adalah amanah dan ujian. Rasulullah SAW bersabda:

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, anggota DPR bukan hanya bertanggung jawab secara politik kepada rakyat, tetapi juga secara spiritual kepada Allah. Jika amanah rakyat disalahgunakan, maka itu termasuk pengkhianatan.

Islam juga mengajarkan prinsip hisbah — yaitu mekanisme pengawasan sosial terhadap penguasa. Rakyat berhak menegur, mengkritik, bahkan menolak kebijakan yang zalim. Dalam konteks modern, kritik publik terhadap DPR adalah bentuk hisbah demokratis yang sah dan penting untuk menjaga moralitas kekuasaan.

DPR yang mengabaikan amanah rakyat sejatinya telah melanggar nilai dasar Islam: keadilan (‘adl), amanah, dan maslahah (kemaslahatan umum).


5. DPR dalam Krisis Perilaku dan Etika Politik

Masalah utama DPR bukan pada sistemnya, melainkan pada perilaku manusianya. Banyak anggota dewan yang kehilangan integritas moral dan profesionalitas. Ada yang datang tanpa persiapan dalam sidang, ada yang tertidur di ruang paripurna, bahkan ada yang menyalahgunakan perjalanan dinas untuk kepentingan pribadi.

Fenomena ini mencerminkan lemahnya kesadaran etika jabatan. Padahal, jabatan legislatif adalah public trust (kepercayaan publik) yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Jika perilaku DPR terus seperti ini, rakyat akan semakin apatis. Demokrasi menjadi tumpul karena perwakilan kehilangan makna.


6. Ideal DPR: Wakil Rakyat yang Berjiwa Amanah

Idealnya, DPR harus berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif dan penyambung aspirasi rakyat. Namun untuk mencapai hal itu, dibutuhkan integritas, moralitas, dan profesionalitas.


Ada tiga prinsip ideal yang harus dipegang DPR:

1. Prinsip Amanah.

Setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan niat untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan pribadi atau partai.

2. Prinsip Keadilan dan Akuntabilitas.

DPR harus berani mengontrol pemerintah tanpa kompromi.

3. Prinsip Keterbukaan dan Kedekatan dengan Rakyat.

Komunikasi publik harus dibangun secara berkelanjutan. Reses harus dimaknai sebagai forum mendengar, bukan sekadar formalitas.

Jika ketiga prinsip ini diterapkan, maka DPR bisa kembali menjadi lembaga yang dipercaya.


7. Kritik Konstruktif terhadap DPR karena Perilakunya Sendiri

DPR harus berani melakukan introspeksi. Krisis kepercayaan publik bukan akibat fitnah, tetapi akibat perilaku DPR sendiri. Kritik keras masyarakat adalah cermin kejujuran, bukan kebencian.


Beberapa kritik mendasar yang harus diakui:

  • DPR sering menutup diri dari rakyat, padahal rakyatlah yang memberi mandat.
  • DPR sering gagal menjadi pengawas pemerintah karena terlibat dalam kepentingan yang sama.
  • DPR sering lebih fokus pada pencitraan ketimbang substansi.
  • DPR belum mampu menegakkan disiplin internal dan etika publik.

Kritikan ini bukan untuk menjatuhkan DPR, tetapi untuk menyadarkannya agar kembali ke jalur ideal: menjadi rumah rakyat yang sejati.


8. Rekomendasi Reformasi dan Pembenahan DPR

Agar DPR kembali pada marwahnya sebagai lembaga yang terhormat dan dipercaya, diperlukan pembenahan dalam tiga ranah utama: sistem, perilaku, dan moral.


a. Reformasi Sistem Politik

Evaluasi sistem pemilihan umum agar rakyat memilih berdasarkan kualitas, bukan popularitas atau uang.

Kurangi dominasi partai dengan memperkuat posisi individu yang berprestasi.

Perkuat peran Badan Kehormatan DPR sebagai penjaga moral dan etika.


b. Pembenahan Perilaku dan Etika Dewan

Terapkan kode etik ketat dengan sanksi nyata bagi pelanggar.

Tingkatkan kapasitas anggota DPR melalui pendidikan politik dan kebijakan publik.

Wajibkan pelaporan kinerja dan aspirasi kepada rakyat secara terbuka setiap tahun.


c. Reformasi Moral dan Spiritual

Bangun kesadaran bahwa kekuasaan adalah ujian, bukan privilese.

Tanamkan nilai kejujuran, kesederhanaan, dan empati kepada rakyat.

Lakukan pembinaan spiritual secara rutin di lingkungan DPR agar nilai iman tetap hidup di tengah kekuasaan.


9. Demokrasi, Etika, dan Harapan Baru

Demokrasi tanpa moral hanyalah kompetisi ambisi. Demokrasi tanpa etika hanyalah alat kekuasaan. DPR sebagai simbol demokrasi harus menjadi contoh integritas moral dan keteladanan.

Ketika DPR bersih, rakyat percaya. Ketika DPR adil, hukum dihormati. Ketika DPR amanah, bangsa akan kuat.

Seperti pesan Khalifah Umar bin Khattab:

Jika satu keledai terperosok di jalanan Baghdad, aku khawatir Allah akan menanyakanku, mengapa aku tidak memperbaiki jalan itu.

Begitulah seharusnya rasa tanggung jawab seorang pemimpin—terhadap hal kecil sekalipun.


Penutup

DPR yang sejati adalah wakil rakyat yang sadar bahwa setiap kursi yang didudukinya adalah amanah dari rakyat dan perhitungan di hadapan Tuhan. Ia bukan alat partai, bukan milik oligarki, dan bukan simbol kekuasaan, melainkan wakil dari nurani rakyat yang berjuang untuk keadilan dan kemaslahatan bangsa.

Namun selama DPR belum mampu mengoreksi perilakunya sendiri—korup, malas, hedonis, dan jauh dari rakyat—maka lembaga itu hanya akan menjadi bayang-bayang demokrasi yang kehilangan ruh.

DPR harus berani berubah, bukan karena tekanan publik, tetapi karena kesadaran moral. Sebab bangsa besar tidak diukur dari banyaknya undang-undang, tetapi dari moral para wakil rakyat yang menulis dan menegakkannya.

Dan di hadapan Allah kelak, setiap wakil rakyat akan ditanya bukan berapa undang-undang yang ia sahkan, tetapi berapa banyak rakyat yang ia lindungi, dan berapa keadilan yang ia perjuangkan.


Kesimpulan Falsafah Islam.:

Kekuasaan tanpa amanah adalah kezaliman. Demokrasi tanpa moral adalah kehancuran. Dan wakil rakyat tanpa hati adalah pengkhianatan. Maka ideal DPR adalah lembaga yang berpihak pada rakyat, berlandaskan ketaqwaan kepada Allah, dan menjunjung tinggi keadilan.



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini