Senin, 27 Oktober 2025

KEMUNDURAN DEMOKRASI SUBSTANTIF DI INDONESIA

Fenomena Jokowi dan Populisme Massa Non-Subversif

Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa). 


Pendahuluan

Portal Suara Academia: Dalam dua dekade terakhir, demokrasi Indonesia sering dipuji sebagai salah satu model transisi demokrasi paling sukses di Asia. Namun, keberhasilan tersebut kini dipertanyakan seiring dengan tanda-tanda kemunduran yang semakin nyata. Demokrasi substantif — yang mencakup keadilan sosial, partisipasi bermakna, dan kebebasan sipil — perlahan tergerus oleh praktik populisme birokratik yang berakar pada kekuasaan personal. Fenomena pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu contoh paling jelas dari paradoks demokrasi modern: rakyat tampak berdaulat, tetapi sesungguhnya berada dalam kendali narasi kekuasaan yang halus.


1. Demokrasi Substantif dan Krisis Representasi

Demokrasi substantif bukan hanya tentang pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil, tetapi juga tentang sejauh mana pemerintahan mampu mewujudkan keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas. Menurut Robert A. Dahl (1998), demokrasi harus menjamin partisipasi efektif, kesetaraan suara, dan kontrol rakyat terhadap agenda publik. Namun, di Indonesia, demokrasi kian tereduksi menjadi prosedural — sekadar rutinitas elektoral lima tahunan.

Larry Diamond (2019) mencatat bahwa banyak negara demokrasi baru mengalami democratic regression, di mana institusi demokrasi tetap berdiri, tetapi nilai-nilai dasarnya memudar. Indonesia kini menghadapi fenomena serupa: partai politik kehilangan fungsi kaderisasi dan ideologi, masyarakat sipil terkooptasi, dan media arus utama cenderung menjadi alat legitimasi kekuasaan.


2. Populisme Jokowi: Antara Kesederhanaan dan Konsolidasi Kekuasaan

Fenomena Jokowi awalnya dianggap membawa harapan baru bagi demokrasi Indonesia. Ia muncul dari luar lingkaran elit politik lama, dikenal sederhana, dan mengusung politik blusukan yang dekat dengan rakyat. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Edward Aspinall (2020), populisme Jokowi bukanlah bentuk populisme subversif yang menantang sistem, melainkan populisme administratif — yaitu populisme yang menenangkan rakyat tanpa mengubah struktur kekuasaan.

Jokowi membangun citra sebagai “bapak pembangunan,” bukan sebagai pemimpin yang membebaskan rakyat dari ketimpangan struktural. Retorika kerakyatannya tidak diikuti oleh penguatan institusi demokrasi, melainkan justru oleh konsolidasi kekuasaan eksekutif. Penggunaan narasi pembangunan dan stabilitas menjadi alat efektif untuk membungkam kritik. Akibatnya, muncul kondisi yang oleh Vedi R. Hadiz (2021) disebut sebagai “populisme teknokratis”: pemerintah mengklaim bekerja untuk rakyat melalui pembangunan, namun secara politik justru mempersempit partisipasi rakyat.


3. Massa Non-Subversif dan Ilusi Partisipasi

Populisme Jokowi melahirkan basis sosial baru yang dapat disebut sebagai massa non-subversif — yaitu kelompok masyarakat yang tampak aktif secara politik, tetapi tidak memiliki kesadaran kritis terhadap kekuasaan. Mereka terlibat dalam mobilisasi digital, kampanye daring, dan dukungan emosional terhadap pemimpin, namun tanpa kapasitas reflektif untuk menilai kebijakan publik secara rasional.

Pandangan ini sejalan dengan konsep “post-democracy” Colin Crouch (2004), di mana partisipasi rakyat dibatasi pada dukungan simbolik terhadap elite politik. Demokrasi bergeser menjadi proyek komunikasi politik yang berorientasi citra, bukan ruang deliberatif. Massa non-subversif tersebut menjadi modal sosial bagi kekuasaan untuk mempertahankan legitimasi, meskipun tanpa koreksi substantif dari publik.

Fenomena ini tampak jelas dalam sikap publik terhadap isu-isu seperti revisi UU KPK (2019), penggunaan UU ITE, hingga politik dinasti keluarga Jokowi. Alih-alih memicu gelombang protes luas, mayoritas masyarakat justru menunjukkan penerimaan pasif. Kesadaran kritis melemah karena opini publik berhasil dikelola melalui narasi nasionalisme, stabilitas, dan keberhasilan pembangunan infrastruktur.


4. Analisis Pandangan Para Pakar

Beberapa pakar melihat bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia terjadi secara sistemik dan terselubung.

  • Burhanuddin Muhtadi (2023), peneliti politik UIN Jakarta, menilai bahwa populisme Jokowi bersifat pragmatis, bukan ideologis. Ia berfungsi menjaga stabilitas kekuasaan melalui dukungan elektoral yang luas, bukan membangun kesadaran politik rakyat. Jokowi, menurutnya, lebih menekankan “politik kinerja” daripada “politik nilai”.
  • Marcus Mietzner (2022) dari Australian National University, dalam penelitiannya tentang otoritarianisme baru di Asia Tenggara, menyebut Indonesia mengalami soft authoritarian turn. Pemerintah tidak menutup ruang kebebasan secara frontal, tetapi menekan oposisi dengan cara legal dan administratif — seperti pengendalian bantuan partai, tekanan terhadap LSM, dan penggunaan hukum untuk menjerat kritik.
  • Vedi R. Hadiz (2021) menyoroti bahwa populisme Indonesia berakar pada oligarki. Jokowi mungkin tampil sederhana, namun kekuasaannya menopang kepentingan elit ekonomi-politik yang justru memperdalam ketimpangan. Populisme semacam ini memperkuat oligarki, bukan menantangnya.
  • Dewi Fortuna Anwar (2023) menambahkan bahwa menurunnya kualitas demokrasi juga disebabkan oleh lemahnya checks and balances antar lembaga negara. DPR kehilangan fungsi pengawasan, partai-partai sibuk dengan koalisi pragmatis, sementara masyarakat sipil semakin terpecah.

Pandangan para pakar tersebut mempertegas bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia tidak lahir dari krisis ideologi, melainkan dari keberhasilan populisme birokratik dalam menormalisasi kepatuhan sosial.


5. Indikator Kemunduran Demokrasi

Data empiris juga mendukung analisis tersebut. Menurut Freedom House Report 2024, skor kebebasan Indonesia turun menjadi 57/100, menempatkan Indonesia dalam kategori “partly free.” Penurunan signifikan terjadi pada indikator civil liberties dan political rights.

Sementara itu, The Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index 2024 menempatkan Indonesia pada skor 6.7, kategori “flawed democracy.” Artinya, meskipun pemilu berlangsung rutin, kualitas partisipasi, kebebasan pers, dan integritas lembaga publik terus memburuk.

Fenomena politik dinasti — seperti pencalonan putra Presiden dalam pemilu — menambah bukti bahwa demokrasi kita makin terjebak dalam patronase keluarga. Akademisi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar (2024), menyebut ini sebagai “krisis meritokrasi,” di mana jabatan publik ditentukan oleh relasi kekuasaan, bukan kompetensi.


6. Populisme, Media, dan Manajemen Persepsi

Kemunduran demokrasi juga diperkuat oleh perubahan pola komunikasi politik. Pemerintahan Jokowi dikenal sangat efektif dalam mengelola narasi publik melalui media sosial. Menurut kajian Saiful Mujani Research and Consulting (2024), tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah tetap tinggi meskipun banyak kebijakan kontroversial. Hal ini menunjukkan keberhasilan manajemen persepsi melalui media digital.

Media arus utama yang seharusnya menjadi pengawas kekuasaan justru ikut dalam arus hegemoni informasi. Pemilik media memiliki keterkaitan bisnis dan politik dengan elite penguasa, menyebabkan independensi redaksional melemah. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi arena kritik berubah menjadi panggung legitimasi.


7. Demokrasi dalam Bahaya: Otoritarianisme yang Lembut

Dalam konteks ini, Indonesia sedang menghadapi apa yang disebut Thomas Carothers (2020) sebagai stealth authoritarianism — otoritarianisme yang bekerja diam-diam melalui instrumen demokrasi. Tidak ada larangan terang-terangan terhadap oposisi, tetapi ada normalisasi kontrol terhadap kebebasan. Pemerintah tidak menutup ruang publik, tetapi mendesainnya agar aman dan terkendali.

Fenomena ini terlihat pada pola relasi negara dengan masyarakat: kritik dianggap ancaman, oposisi dilemahkan dengan narasi moral, dan kebijakan diputuskan dengan alasan teknokratis. Demokrasi menjadi ritual tanpa substansi. Seperti diingatkan oleh Amartya Sen (1999), demokrasi sejati tidak hanya soal suara rakyat, tetapi juga kebebasan untuk berpikir dan menentang.


8. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kemunduran demokrasi substantif di Indonesia adalah akibat logis dari populisme yang dilembagakan dalam sistem birokratis. Jokowi bukan satu-satunya penyebab, tetapi simbol dari era di mana politik kehilangan makna ideologis dan menjadi sekadar pengelolaan persepsi. Populisme yang dulu lahir dari bawah kini menjadi alat kontrol dari atas.

Untuk mengembalikan demokrasi substantif, ada tiga langkah penting:

  1. Revitalisasi masyarakat sipil. Ruang publik harus diperkuat dengan kebebasan berpendapat dan jaminan hukum yang adil.
  2. Reformasi partai politik. Partai harus kembali menjadi wadah ide, bukan sekadar mesin elektoral.
  3. Pendidikan politik kritis. Masyarakat perlu dibekali kesadaran agar tidak terjebak dalam loyalitas buta terhadap figur pemimpin.

Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang dalam pemilu, tetapi bagaimana rakyat bisa mengontrol kekuasaan tanpa takut. Jika populisme terus dibiarkan tanpa kontrol, maka demokrasi kita akan terus menjadi kulit tanpa isi — prosedural di luar, otoriter di dalam.

Seperti dikatakan oleh ilmuwan politik Guillermo O’Donnell, “demokrasi mati bukan karena kudeta, tetapi karena rakyat berhenti mempertanyakannya.”

Dan hari ini, pertanyaan itulah yang harus kita hidupkan kembali — sebelum demokrasi kita tinggal kenangan. (Obasa)



Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga :

Translate

Cari Blog Ini