(Analisis Filosofis, Teoretis, dan Etis terhadap Fenomena “Anggota DPR Bermuka Tiga”)
Oleh : Basa Alim Tualeka, MSi (obasa).
A. Pendahuluan
Portal Suara Academia: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kedudukan sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. DPR RI adalah representasi langsung dari kedaulatan rakyat, dan keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui lembaga ini, rakyat menyalurkan aspirasi, kebutuhan, serta kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Namun dalam praktik politik modern, peran anggota DPR tidak sesederhana teori ideal yang diajarkan dalam ilmu politik. Di balik tugas mulia sebagai “wakil rakyat”, seorang anggota DPR dihadapkan pada dilema identitas dan loyalitas yang kompleks. Ia hadir sebagai bagian dari partai politik yang mengusungnya, sekaligus sebagai representasi rakyat, dan tidak jarang pula menuruti dorongan serta kepentingan pribadinya. Fenomena ini sering disebut sebagai “anggota DPR bermuka tiga”, yaitu:
- Mewakili partai,
- Mewakili rakyat, dan
- Mewakili dirinya sendiri.
Konsep “bermuka tiga” ini bukan dalam arti negatif, melainkan gambaran realistis dari tiga lapisan tanggung jawab yang melekat pada seorang anggota DPR RI. Ketiganya mencerminkan dimensi struktural, sosial, dan moral dari jabatan politik. Oleh karena itu, memahami ideal peran dan kedudukan anggota DPR tidak cukup melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga melalui pendekatan teori politik, filsafat moral, dan etika kenegaraan.
B. Landasan Konstitusional dan Filosofis DPR RI
Secara yuridis, dasar keberadaan DPR tercantum dalam Pasal 19 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dalam sistem presidensial Indonesia, DPR memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
- Fungsi Legislasi – membentuk undang-undang bersama Presiden,
- Fungsi Anggaran – menetapkan APBN bersama pemerintah, dan
- Fungsi Pengawasan – mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah.
Namun di balik kerangka hukum tersebut, terdapat fondasi filosofis yang bersumber dari Pancasila. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” merupakan landasan moral bagi fungsi perwakilan rakyat. Sila ini mengandung nilai-nilai demokrasi yang beradab, musyawarah, dan kebijaksanaan moral. Artinya, anggota DPR seharusnya bukan sekadar teknokrat hukum, melainkan juga penjaga nilai-nilai kebangsaan dan keadilan sosial.
Dalam konteks filsafat politik, Plato dalam The Republic menyatakan bahwa pemimpin ideal adalah philosopher-king, yaitu orang yang memimpin karena kebijaksanaannya, bukan karena kekuasaan. Aristoteles juga menegaskan bahwa politik merupakan “usaha tertinggi untuk mencapai kebaikan umum (the highest good)”. Dengan demikian, jabatan politik, termasuk anggota DPR, harus dijalankan sebagai pengabdian moral, bukan arena transaksi kekuasaan.
C. Teori Representasi Politik
Untuk memahami tiga wajah anggota DPR RI, kita perlu meninjau beberapa teori representasi yang berkembang dalam ilmu politik modern.
1. Teori Mandat Imperatif
Menurut teori ini, wakil rakyat sepenuhnya terikat pada kehendak partai atau pemilihnya. Ia hanya berfungsi sebagai pelaksana mandat tanpa memiliki kebebasan moral. Teori ini sesuai dengan wajah pertama: mewakili partai politik. Dalam sistem multipartai Indonesia, anggota DPR diwajibkan tunduk pada garis kebijakan partai dan dilarang berpindah fraksi tanpa izin. Namun, ketaatan ini sering menimbulkan benturan ketika kepentingan partai tidak sejalan dengan kehendak rakyat.
2. Teori Mandat Bebas
Dikemukakan oleh Edmund Burke (1729–1797), teori ini menekankan bahwa seorang wakil rakyat tidak hanya menjalankan perintah pemilih, tetapi juga harus menggunakan nalar dan nuraninya untuk mengambil keputusan terbaik bagi kepentingan umum. Burke menyatakan, “Parlemen bukanlah kongres utusan kepentingan lokal, tetapi majelis bangsa yang mempertimbangkan kepentingan seluruh negeri.”
Teori ini menggambarkan wajah kedua: mewakili rakyat, di mana seorang legislator diberi kebebasan untuk menafsirkan kebijakan demi kemaslahatan nasional.
3. Teori Representasi Deskriptif dan Substantif
Hanna Pitkin (1967) memperkenalkan konsep bahwa representasi bukan hanya acting for (bertindak untuk rakyat), tetapi juga standing for (menjadi cermin rakyat). Artinya, anggota DPR harus merepresentasikan latar belakang, nilai, dan perjuangan rakyat yang diwakilinya. Ia tidak boleh terpisah dari realitas sosial masyarakat, melainkan harus hidup dan berpikir bersama rakyat.
Ketiga teori tersebut menjadi fondasi analisis atas kompleksitas peran anggota DPR RI dalam konteks politik Indonesia.
D. Tiga Wajah Anggota DPR RI
1. Wajah Pertama: Mewakili Partai
Dalam sistem demokrasi Indonesia, partai politik merupakan satu-satunya pintu masuk menuju parlemen. Partai bertugas melakukan rekrutmen politik, menentukan calon legislatif, serta membentuk fraksi di DPR. Hal ini berarti setiap anggota DPR membawa “bendera ideologi partai”.
Loyalitas terhadap partai bersifat struktural dan administratif. Setiap keputusan politik, terutama dalam pengambilan suara di rapat paripurna, dikendalikan oleh fraksi. Dalam konteks ini, anggota DPR berfungsi sebagai “alat representasi partai”.
Kelebihan dari sistem ini adalah adanya stabilitas dan konsistensi kebijakan politik nasional. Namun, jika partai dikuasai oleh elite yang oligarkis, maka anggota DPR kehilangan kemandirian moralnya. Ia menjadi sekadar pelaksana perintah tanpa refleksi kritis. Akibatnya, kepentingan rakyat sering terpinggirkan oleh agenda politik internal partai.
Dalam perspektif teori sistem politik David Easton, partai politik berperan sebagai saluran input antara masyarakat dan sistem politik. Namun, jika saluran tersebut tersumbat oleh kepentingan elit, maka sistem representasi gagal bekerja. DPR pun tidak lagi menjadi corong rakyat, melainkan instrumen kekuasaan segelintir orang.
2. Wajah Kedua: Mewakili Rakyat
Wajah kedua ini merupakan idealisme tertinggi dari peran DPR. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan, sedangkan DPR adalah pelaksana mandat tersebut. Seorang anggota DPR seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan menjaga keseimbangan antara kehendak rakyat dan kebijakan negara.
Dalam teori kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau, kekuasaan negara bersumber dari perjanjian antara rakyat dan wakilnya. Jika wakil melanggar kehendak rakyat, maka kontrak sosial tersebut batal demi hukum moral. Oleh karena itu, anggota DPR yang melupakan rakyat sebenarnya telah mengkhianati sumber legitimasi politiknya.
Namun, dalam kenyataan politik Indonesia, banyak anggota DPR lebih sibuk dengan kepentingan elektoral dan pencitraan ketimbang memperjuangkan kebijakan publik. Kegiatan reses, misalnya, sering kali bersifat seremonial tanpa tindak lanjut substantif terhadap aspirasi masyarakat. Akibatnya, jarak antara wakil dan rakyat semakin melebar.
Untuk mengembalikan makna representasi rakyat, diperlukan tiga langkah etis:
2.1. Akuntabilitas publik – laporan kinerja yang transparan kepada masyarakat.
2.2. Keterlibatan konstituen – membuka ruang partisipasi rakyat dalam proses legislasi.
2.3. Integritas pribadi – menolak tekanan partai atau kepentingan ekonomi yang merugikan rakyat.
3. Wajah Ketiga: Mewakili Diri Sendiri
Dimensi ini merupakan sisi paling problematik dari jabatan anggota DPR. Ketika kekuasaan dijadikan sarana memperkaya diri, maka peran wakil rakyat berubah menjadi wakil pribadi. Fenomena seperti korupsi, gratifikasi, dan konflik kepentingan menunjukkan bahwa sebagian legislator lebih mementingkan kepentingan diri dibanding kepentingan publik.
Dalam pandangan Immanuel Kant, tindakan moral diukur dari niat dan kewajiban, bukan dari hasil. Anggota DPR yang bertindak demi keuntungan pribadi telah melanggar prinsip moralitas universal. Ia kehilangan integritas dan menodai makna pengabdian.
Filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre juga mengingatkan bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kebebasannya. Seorang wakil rakyat yang menyalahgunakan wewenang berarti mengingkari eksistensinya sebagai makhluk moral. Ia telah menempatkan dirinya dalam “kebebasan yang palsu”.
Namun, tidak semua anggota DPR demikian. Banyak pula yang bekerja tulus, memperjuangkan rakyat kecil, dan menolak suap. Mereka inilah negarawan sejati yang menjadikan jabatan politik sebagai amanah, bukan ladang bisnis.
E. Dialektika Antara Tiga Wajah
Ketiga wajah tersebut sebenarnya tidak harus dipertentangkan. Dalam pandangan etika kebajikan Aristoteles, kebajikan adalah hasil keseimbangan antara dua ekstrem. Seorang anggota DPR yang ideal adalah mereka yang mampu menempatkan:
- Partai sebagai penuntun arah ideologis,
- Rakyat sebagai sumber legitimasi moral, dan
- Diri sendiri sebagai penjaga integritas nurani.
Keseimbangan ini merupakan wujud dari phronesis atau kebijaksanaan praktis, yaitu kemampuan menilai dengan akal sehat dan hati nurani dalam setiap keputusan politik. DPR yang kehilangan kebijaksanaan ini akan berubah menjadi lembaga transaksional yang jauh dari nilai-nilai etika publik.
F. Implikasi Filosofis terhadap Etika Politik Indonesia
Etika politik Indonesia seharusnya berpijak pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber moral kenegaraan. Pancasila bukan sekadar ideologi, tetapi juga sistem etika politik yang berlandaskan:
- Ketuhanan Yang Maha Esa – kejujuran dan tanggung jawab di hadapan Tuhan,
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – penghormatan terhadap hak rakyat,
- Persatuan Indonesia – menempatkan kepentingan bangsa di atas golongan,
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan – keputusan berdasarkan nurani dan musyawarah,
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – kebijakan yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan.
Dalam konteks ini, anggota DPR yang ideal bukan hanya pejabat politik, tetapi juga penjaga nilai-nilai Pancasila dalam praktik pemerintahan.
Teori Good Governance juga menegaskan bahwa lembaga legislatif harus menjunjung tinggi prinsip:
- Transparansi,
- Akuntabilitas,
- Responsivitas, dan
- Keadilan sosial.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, DPR dapat menjadi lembaga yang dipercaya publik dan berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif.
G. Krisis Moral dan Tantangan Reformasi DPR
Masalah mendasar DPR RI bukan hanya soal fungsi legislasi, melainkan krisis moral dan degradasi etika publik. Banyak kasus korupsi yang menjerat anggota DPR menunjukkan bahwa sebagian besar politisi belum memahami politik sebagai pengabdian.
Tantangan besar DPR ke depan mencakup:
- Reformasi sistem rekrutmen partai, agar calon legislatif dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan kekuatan finansial.
- Penegakan kode etik parlemen, agar pelanggaran moral dapat ditindak tegas tanpa pandang bulu.
- Pendidikan politik berkelanjutan, untuk menanamkan nilai-nilai etika publik dan kesadaran konstitusional kepada setiap anggota DPR.
- Penguatan peran masyarakat sipil, agar publik dapat mengawasi dan menilai kinerja wakil rakyat secara transparan.
H. Refleksi Filosofis
Filsafat politik mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kehancuran. Bung Hatta pernah menegaskan, “Politik tanpa moral akan membawa bangsa kepada kehancuran, sementara moral tanpa politik akan kehilangan daya juang.” Oleh karena itu, politik dan moral harus berjalan seimbang.
Anggota DPR sejatinya bukan sekadar politisi, tetapi negarawan – mereka yang memikirkan masa depan bangsa, bukan masa depan dirinya. Seorang negarawan berjuang untuk kepentingan publik, sementara politisi oportunis berjuang untuk kepentingan pribadi.
Dalam bahasa filosof Jerman, Max Weber, jabatan politik harus dijalankan dengan dua etika:
- Ethic of Conviction (Etika Keyakinan) – berpegang teguh pada nilai moral, dan
- Ethic of Responsibility (Etika Tanggung Jawab) – sadar akan konsekuensi setiap tindakan publik.
DPR yang ideal adalah yang menyeimbangkan keduanya.
I. Penutup
Fenomena “anggota DPR bermuka tiga” tidak harus dimaknai secara negatif, melainkan sebagai kenyataan objektif dari tiga dimensi tanggung jawab yang melekat dalam diri seorang legislator. Ia adalah representasi partai, rakyat, dan dirinya sendiri. Yang menjadi persoalan bukan jumlah “wajahnya”, melainkan bagaimana ia mengelola keseimbangan moral antara ketiganya.
Anggota DPR RI yang ideal adalah mereka yang:
- Taat kepada partai tanpa mengkhianati rakyat,
- Setia kepada rakyat tanpa mengabaikan nuraninya, dan
- Jujur terhadap diri sendiri tanpa kehilangan disiplin politik.
Ketika keseimbangan ini terwujud, maka DPR akan benar-benar menjadi rumah kebijaksanaan bangsa, bukan sekadar panggung kepentingan kekuasaan.
Sebagaimana pesan Bung Karno:
“Politik yang tidak berakar pada moral adalah politik yang kering dan tidak berjiwa.”
Oleh sebab itu, ideal peran dan kedudukan anggota DPR RI harus selalu dituntun oleh nilai-nilai Pancasila, etika kebangsaan, dan kesadaran spiritual bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa. Dengan demikian, parlemen Indonesia dapat menjadi lembaga yang kuat secara konstitusional, bijak secara moral, dan adil secara sosial.
Dosen MIP, FISIP UWK Surabaya
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar