"Ijazah Diputuskan Sah Dulu, Baru Roy Suryo CS Dapat Diadili" Pendapat Prof. Mahfud MD.
Oleh: Dr. Drs. Basa Alim Tualeka, MSi.
Puisi :
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Indonesia menetapkan dirinya sebagai negara hukum (Rechtsstaat) sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, seluruh tindakan penyelenggaraan negara, baik oleh pemerintah maupun warga negara, harus berlandaskan hukum, bukan pada kekuasaan, tekanan politik, atau sentimen sosial. Dalam kerangka tersebut, penegakan hukum harus dilakukan secara berjenjang, objektif, adil, dan tidak melampaui prosedur.
Perdebatan publik mengenai pernyataan Roy Suryo CS terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo menjadi contoh yang sangat penting untuk menguji sejauh mana prinsip negara hukum dipegang teguh atau justru diuji melalui tekanan politik dan opini publik. Sebagian kalangan mendorong agar Roy Suryo CS segera dipidanakan atas dugaan pencemaran nama baik, sementara sebagian lain menilai bahwa yang harus diuji terlebih dahulu adalah keaslian ijazah Presiden, karena dokumen itulah yang menjadi objek sengketa.
Dalam konteks inilah pandangan Prof. Mahfud MD, sebagai akademisi hukum tata negara sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menjadi rujukan penting. Beliau menegaskan bahwa:
Seseorang tidak dapat dipidana sebelum objek perkara yang dipersoalkan diputuskan terlebih dahulu keabsahannya melalui mekanisme pengadilan.
Dengan kata lain, sebelum pengadilan memutuskan keaslian ijazah Presiden Jokowi, maka Roy Suryo CS tidak dapat langsung diadili atas kritik atau pertanyaan yang ia ajukan.
Pandangan ini bukan pembelaan politis, tetapi penegasan prinsip ideal, rasional, dan proporsional dalam penegakan hukum. Artikel ini menguraikan alasan, landasan hukum, dan implikasi logis dari pendekatan tersebut dalam kerangka kebijakan publik.
1. Negara Hukum: Menempatkan Proses Sebagai Dasar Keadilan
Dalam negara hukum, keadilan lahir melalui proses, bukan asumsi atau kesimpulan prematur. Hukum tidak boleh menjadi alat pembenaran sepihak, melainkan harus menjadi instrumen kebenaran yang dapat diuji secara berurutan. Dalam hal ini, terdapat satu asas penting dalam hukum:
Objectum litis harus diuji lebih dahulu, baru kemudian menyentuh subjek hukumnya.
Objek (dokumen ijazah) adalah dasar perkara.
Subjek (yang mempertanyakan ijazah) baru dapat dinilai setelah dasar perkara jelas.
Jika objek belum diuji, maka:
Tidak ada dasar yang sah untuk menilai apakah pernyataan Roy Suryo CS merupakan kritik yang sah,
atau merupakan fitnah dan pencemaran nama baik.
Mengadili orang tanpa menguji objek sama dengan membalik logika hukum, dan membalik logika hukum adalah bentuk ketidakadilan prosedural.
2. Asas Presumption of Validity dan Hak Koreksi Publik
Secara hukum, setiap dokumen negara memang dianggap sah sampai dibatalkan pengadilan. Namun asas ini tidak menutup hak warga negara untuk mempersoalkan, mengkritisi, dan meminta klarifikasi.
Demokrasi Indonesia bukan demokrasi yang anti kritik, melainkan demokrasi yang membuka ruang koreksi terhadap kekuasaan. Konstitusi Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk:
- Memperoleh informasi,
- Menyampaikan pendapat dan argumentasi,
- Menguji kebijakan serta dokumen publik.
Jika hak untuk bertanya dikriminalkan, maka:
- Demokrasi menjadi defensif,
- Kewibawaan negara tidak menguat, justru runtuh,
- Pemerintah kehilangan legitimasi moral.
Dengan demikian, mengajukan pertanyaan atau permohonan pembuktian dokumen tidak dapat dipidana sebelum pengadilan memutuskan posisi hukum dokumen tersebut.
3. Ultimum Remedium: Hukum Pidana Bukan Alat Pembungkam
Dalam ilmu hukum terdapat prinsip:
Hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium), bukan langkah pertama (primum remedium).
Artinya:
Hukum pidana hanya boleh digunakan bila mekanisme pembuktian lain telah dilakukan.
Hukum pidana tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik yang sah.
Jika hukum pidana digunakan sebelum uji objek dilakukan, maka terjadi:
- Kriminalisasi pendapat,
- Penyimpangan kekuasaan, dan
- Delegitimasi hukum.
Negara yang menghukum kritik sebelum membuktikan fakta bukanlah negara hukum, melainkan negara kekuasaan.
4. Perspektif Kebijakan Publik: Kepercayaan Publik sebagai Modal Negara
Kepercayaan publik adalah salah satu modal sosial terpenting dalam sistem pemerintahan.
Kepercayaan tidak dapat dibangun melalui pemaksaan, melainkan melalui:
- Transparansi,
- Akuntabilitas,
- Keterbukaan,
- dan ruang dialog yang sehat.
Jika negara terburu-buru mengkriminalisasi kritik, maka rakyat merasa dikekang dan pemerintah kehilangan kredibilitas.
Sebaliknya, jika negara membuktikan dokumen secara terbuka dan berproses:
- Stabilitas sosial meningkat,
- Legitimasi pemimpin menguat,
- Demokrasi berkembang dewasa.
Karena itu, menguji keabsahan ijazah terlebih dahulu adalah langkah yang tidak hanya legal, tetapi juga strategis dalam membangun kepercayaan publik.
5. Implikasi Jika Proses Dibalik
Jika negara mempidanakan kritik sebelum dokumennya dibuktikan, maka terjadi:
- Preseden buruk bagi kebebasan akademik dan publik.
- Kritik menjadi berbahaya, sehingga masyarakat takut bicara.
- Negara tampak tidak percaya diri terhadap dokumen dan integritas pemimpinnya sendiri.
- Demokrasi bergerak ke arah otoritarianisme prosedural.
Inilah yang harus dihindari.
Kesimpulan :
Berdasarkan prinsip hukum tata negara, asas demokrasi, dan kepentingan kebijakan publik:
- Ijazah Presiden harus diuji dulu melalui lembaga peradilan.
- Roy Suryo CS tidak dapat diadili sebelum objek itu memiliki kepastian hukum.
- Menegakkan hukum harus dilakukan secara ideal, rasional, dan proporsional, bukan tergesa-gesa.
- Negara harus merawat ruang kritik, bukan menutupnya.
- Keadilan hanya dapat hidup ketika hukum berjalan melalui proses yang benar.
> Bukti dulu, baru vonis.
Objek diuji dulu, baru subjeknya dinilai.
Itulah hukum yang adil dan beradab. (Obasa)
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar