Kekecewaan Rakyat Maluku: Dari Luka Aspirasi Menuju Energi Persatuan
Oleh: Dr. Basa Alim Tualeka, Drs., M.Si.
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Kekecewaan sering kali lahir dari cinta yang dalam. Begitu pula dengan kekecewaan masyarakat Maluku terhadap pemerintah Indonesia. Bukan karena mereka membenci negeri ini, melainkan karena mereka mencintainya dan ingin melihatnya lebih adil, lebih peduli, dan lebih setara dalam menatap seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Wetar.
Kritik yang datang dari Maluku sesungguhnya adalah bentuk kasih sayang — jeritan nurani dari rakyat di timur negeri yang selama puluhan tahun merasakan jarak pembangunan dan pengakuan yang tak seimbang. Rasa kecewa bukan bentuk pembangkangan, tetapi suara kejujuran dari masyarakat yang ingin didengar, dihargai, dan diikutsertakan.
Akar Kritik dan Kekecewaan
Kekecewaan masyarakat Maluku bukan muncul dalam ruang hampa. Ia berakar dari sejumlah realitas sosial dan politik:
1. Ketimpangan pembangunan
Banyak wilayah di Maluku masih tertinggal dalam infrastruktur dasar — jalan, listrik, air bersih, dan konektivitas ekonomi. Padahal, Maluku kaya sumber daya alam dan memiliki potensi maritim besar. Ketimpangan ini menimbulkan rasa tidak adil dan kekecewaan terhadap perhatian pemerintah pusat.
2. Kurangnya pengakuan terhadap tokoh Maluku
Hingga kini, beberapa tokoh pejuang asal Maluku seperti A.M. Sangadji belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Padahal, jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan sangat besar. Bagi masyarakat Maluku, hal ini bukan sekadar simbol, tetapi pengakuan moral terhadap kontribusi anak negeri Maluku bagi Republik.
3. Minimnya partisipasi dalam kebijakan nasional
Banyak kebijakan besar nasional masih terpusat di Jawa dan wilayah barat Indonesia. Pemuda-pemuda Maluku merasa belum diberi ruang untuk terlibat dalam merancang arah pembangunan nasional. Akibatnya, muncul perasaan bahwa Maluku hanya menjadi penonton, bukan bagian dari pemain utama bangsa.
Makna Filosofis di Balik Kekecewaan
Secara filosofis, kekecewaan adalah bentuk peringatan moral — bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan selaras dengan keadilan. Dalam Islam, keadilan adalah fondasi dari setiap kebijakan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. An-Nahl: 90)
Ketika suatu daerah merasa tidak diperlakukan adil, maka itu bukan tanda melemahnya cinta tanah air, melainkan panggilan untuk memperbaiki arah kebijakan agar lebih seimbang.
Kekecewaan rakyat Maluku adalah bentuk ijtihad sosial, yakni upaya masyarakat menegur dengan cinta dan mengingatkan dengan nurani. Mereka tidak menolak negara, tetapi justru ingin negara hadir dengan lebih manusiawi.
Dari Luka Aspirasi Menuju Energi Persatuan
Dalam setiap luka ada energi tersembunyi. Begitu pula dalam kekecewaan masyarakat Maluku. Jika diolah dengan bijak, ia dapat berubah menjadi kekuatan besar yang mempererat kesatuan nasional.
1. Energi refleksi bersama
Kritik dan kekecewaan dapat memaksa bangsa ini bercermin: apakah pemerataan sudah dijalankan dengan sungguh-sungguh? Apakah pembangunan benar-benar berkeadilan? Ini membuka ruang untuk memperbaiki sistem dan memperkuat sinergi pusat-daerah.
2. Energi kebangkitan pemuda
Pemuda Maluku kini mulai bersatu, menuntut keadilan bukan dengan amarah, tetapi dengan gagasan. Mereka siap menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pengeluh. Inilah energi baru — semangat “Basudara” yang mengalir dari lautan Maluku ke ruang kebijakan nasional.
3. Energi rekonsiliasi dan harapan
Rasa kecewa terhadap pemerintah bukan akhir dari cinta, melainkan awal dari perjuangan baru. Melalui dialog, partisipasi, dan kehadiran nyata pemerintah, luka dapat berubah menjadi harapan, dan kekecewaan menjadi jembatan menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup: Dari Maluku untuk Indonesia
Kritik dan kekecewaan rakyat Maluku adalah pesan moral bagi seluruh bangsa. Jangan abaikan suara dari timur, karena di sanalah kejujuran dan kesetiaan bersemayam.
Rakyat Maluku tidak meminta istimewa, mereka hanya ingin diperlakukan setara. Mereka ingin negara hadir bukan sekadar dengan janji, tapi dengan aksi nyata yang membawa kesejahteraan dan keadilan.
Sebagaimana filosofi hidup orang Maluku:
“Beta seng lawan negara, tapi beta mau negara dengar beta.”
Artinya: Saya tidak melawan negara, saya hanya ingin negara mendengar saya.
Puisi Penutup: Suara dari Timur
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar