Keseimbangan Peran Pemimpin dan Wakil dalam Pemerintahan: Perspektif Hukum, Pakar, dan Filosofi Administrasi Negara
Pendahuluan
Portal Suara Academia: Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, kepemimpinan di setiap tingkat selalu diorganisasikan dalam bentuk pasangan: Presiden–Wakil Presiden, Gubernur–Wakil Gubernur, Bupati–Wakil Bupati, serta Wali Kota–Wakil Wali Kota. Pola kepemimpinan ganda ini bukan sekadar bentuk formalitas politik, melainkan merupakan mekanisme konstitusional untuk menyeimbangkan kekuasaan, menjaga stabilitas pemerintahan, serta mencegah penyalahgunaan wewenang.
Namun dalam praktiknya, relasi antara pemimpin dan wakil sering kali menimbulkan dinamika politik dan administratif. Sebagian kepala pemerintahan memandang wakil hanya sebagai pelengkap simbolik atau bahkan “cadangan politik”, sementara sebagian lainnya menjadikan wakil sebagai mitra strategis dalam pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari perspektif administrasi negara, sistem yang sehat menuntut adanya pembagian peran yang tegas namun saling melengkapi antara pembuat kebijakan dan pengawas kebijakan. Dalam konteks Indonesia, peran wakil seharusnya menjadi bagian integral dari sistem check and balance internal, sehingga mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Landasan Hukum dan Konstitusional
Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 4 ayat (1) menegaskan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Pasal 4 ayat (2) menyebutkan: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.”
Ketentuan ini menggambarkan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, sementara Wakil Presiden berperan membantu dan menggantikan Presiden bila berhalangan. Namun “membantu” di sini tidak dapat diartikan secara pasif. Dalam praktik tata kelola modern, “membantu” mencakup fungsi pengawasan, konsultasi, dan pengendalian kebijakan nasional.
Sementara itu, untuk tingkat daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah satu kesatuan pemerintahan daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pasal 65 menyebutkan tugas kepala daerah antara lain:
- Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
- Menetapkan kebijakan daerah.
- Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah.
- Menyusun dan menetapkan APBD.
Sedangkan Pasal 66 ayat (2) menyebutkan bahwa “Wakil kepala daerah membantu kepala daerah dalam pelaksanaan tugas, mengoordinasikan instansi vertikal, serta melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah.”
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa fungsi wakil kepala daerah mencakup peran kontrol dan evaluatif, bukan hanya administratif. Wakil menjadi bagian dari sistem internal yang mencegah penyimpangan dan menjamin keberlanjutan kebijakan publik.
Teori Administrasi Negara: Keseimbangan Kekuasaan dan Fungsi Pengawasan
Dalam teori administrasi negara klasik, kekuasaan eksekutif idealnya dibagi berdasarkan fungsi. Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa pemerintahan yang efektif harus memiliki sistem pengendalian internal (internal control) yang kuat di setiap lini. Dalam kerangka ini, posisi wakil kepala pemerintahan berfungsi sebagai mekanisme pengawasan internal yang melekat pada struktur kekuasaan itu sendiri.
Sondang P. Siagian, tokoh besar administrasi publik Indonesia, menyebutkan bahwa fungsi pengawasan (supervision) adalah “mata nurani organisasi.” Ia menulis:
“Kekuasaan tanpa pengawasan akan melahirkan penyimpangan, dan penyimpangan tanpa koreksi akan melahirkan kejatuhan.”
Dengan demikian, pembagian peran antara pemimpin dan wakil bukan bentuk dualisme kekuasaan, melainkan strategi administrasi untuk menjaga integritas dan efektivitas pemerintahan.
Bintoro Tjokroamidjojo, pakar kebijakan publik, menambahkan bahwa dalam tata kelola modern, mekanisme checks and balances harus dibangun tidak hanya antar-lembaga (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi juga di dalam tubuh eksekutif itu sendiri. Wakil kepala pemerintahan menjadi “pengimbang struktural” yang mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan berlebihan pada satu individu.
Filosofi Administrasi Negara: Kepemimpinan yang Saling Melengkapi
Secara filosofis, sistem kepemimpinan berpasangan merupakan refleksi dari prinsip keseimbangan alamiah. Dalam setiap organisasi publik, kekuasaan harus dijalankan dengan keseimbangan antara otoritas dan pengawasan, antara rasionalitas dan moralitas.
Montesquieu dalam karyanya De l’Esprit des Lois (1748) menyebut bahwa “kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan absolut akan disalahgunakan secara absolut.” Oleh karena itu, kekuasaan harus dipecah ke dalam fungsi-fungsi yang saling mengawasi.
Filosofi ini juga sejalan dengan pandangan Aristoteles dalam Politics, yang menyebut bahwa pemimpin ideal bukan hanya yang memiliki kemampuan memerintah, tetapi juga yang mau diawasi dan menerima koreksi. Dalam konteks Indonesia, filosofi ini diperkuat oleh nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-4 (“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”) yang menuntut musyawarah, keterbukaan, dan pengawasan moral dalam pengambilan keputusan.
Konteks Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas
Sejak reformasi 1998, pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksudkan untuk memperkuat legitimasi demokrasi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan daerah. Namun, dalam praktiknya, hubungan kepala daerah–wakil kepala daerah sering diwarnai konflik politik, perbedaan kepentingan, bahkan perebutan pengaruh.
Hal ini biasanya muncul karena dua faktor:
- Motif politik elektoral, di mana pasangan dibentuk bukan karena kesamaan visi, melainkan pertimbangan elektabilitas.
- Ketiadaan pembagian kerja yang jelas, sehingga wakil merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan strategis.
Padahal, bila diatur secara ideal, wakil kepala daerah seharusnya menjadi lembaga pengawasan internal yang memperkuat tata kelola pemerintahan daerah. Ia harus memiliki kewenangan nyata dalam monitoring, evaluasi, dan pelaporan hasil pelaksanaan kebijakan.
Perbandingan Internasional
1. Amerika Serikat
Dalam sistem presidensial Amerika Serikat, Wakil Presiden berfungsi sebagai second in command, namun juga memiliki peran konstitusional penting sebagai President of the Senate (ketua Senat). Fungsi ini memberikan ruang bagi wakil presiden untuk mengontrol dan menjembatani kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Selain itu, banyak Wakil Presiden AS yang berperan aktif sebagai penasihat kebijakan dan pengawas pelaksanaan program pemerintah, misalnya Joe Biden saat mendampingi Barack Obama, dan kini Kamala Harris mendampingi Joe Biden. Sistem ini menunjukkan bahwa peran wakil bisa bersifat substantif, bukan seremonial.
2. Prancis
Dalam sistem semi-presidensial Prancis, presiden menunjuk perdana menteri untuk memimpin pemerintahan sehari-hari. Dalam situasi “cohabitation” — ketika presiden dan perdana menteri berasal dari partai politik berbeda — sistem ini tetap berjalan karena pembagian kewenangan yang jelas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Filosofi ini sejalan dengan prinsip yang seharusnya diterapkan di Indonesia: perbedaan pandangan bukan penghalang, melainkan keseimbangan dalam pelaksanaan kekuasaan.
3. Indonesia
Berbeda dengan dua negara di atas, sistem presidensial Indonesia tidak memberi ruang formal bagi wakil presiden atau wakil kepala daerah untuk menjalankan fungsi legislatif. Namun, hukum memberikan landasan cukup kuat bagi wakil untuk melaksanakan fungsi evaluasi dan pengawasan kebijakan. Bila fungsi ini diperkuat secara normatif dan budaya birokrasi, Indonesia dapat memiliki sistem executive control yang lebih sehat.
Dimensi Filosofis dan Moral Anti-KKN
KKN lahir dari ketimpangan kekuasaan dan minimnya kontrol internal. Ketika seluruh keputusan terpusat pada satu tangan tanpa mekanisme koreksi, maka potensi penyimpangan meningkat. Dalam hal ini, keberadaan wakil seharusnya menjadi filter moral dan administratif.
Dari sisi filsafat Pancasila, pemerintahan yang baik harus berlandaskan:
Sila 2: Kemanusiaan yang adil dan beradab → mendorong kebijakan yang berkeadilan dan manusiawi.
Sila 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan → mendorong dialog, musyawarah, dan evaluasi dalam pengambilan keputusan.
Sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat → menolak praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Dari perspektif agama Islam, hubungan pemimpin dan wakil mencerminkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar — saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah keburukan. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan:
“Agama itu nasihat.”
Maka dalam konteks pemerintahan, nasihat dan pengawasan antar-pemimpin merupakan ibadah politik yang luhur.
Prinsip Administratif dan Kebijakan Publik
Dalam kerangka good governance, yang dirumuskan oleh UNDP, terdapat sembilan prinsip dasar: partisipasi, supremasi hukum, transparansi, responsivitas, orientasi konsensus, kesetaraan, efektivitas, akuntabilitas, dan visi strategis.
Posisi wakil kepala pemerintahan berada pada titik strategis dalam menjaga akuntabilitas dan transparansi.
Agar fungsi ini berjalan efektif, perlu beberapa langkah kebijakan:
- Reformulasi regulasi tentang tugas wakil kepala pemerintahan agar tidak hanya bersifat seremonial, tetapi mencakup fungsi pengawasan kebijakan dan evaluasi pembangunan.
- Penyusunan instrumen kinerja bersama (joint performance contract) antara kepala dan wakil, sehingga capaian pemerintahan dapat diukur secara objektif.
- Pemberdayaan unit-unit pengawasan internal yang melibatkan wakil dalam supervisi program daerah.
- Pelatihan etika dan integritas kepemimpinan, agar kepala dan wakil memahami bahwa perbedaan pandangan bukan ancaman, melainkan aset moral pemerintahan.
Kebijakan Anti-KKN melalui Sinergi Pemimpin dan Wakil
Keseimbangan antara pembuat kebijakan dan pengawas kebijakan merupakan instrumen paling efektif untuk pencegahan KKN. Pemimpin yang menetapkan arah kebijakan membutuhkan wakil yang memiliki keberanian moral untuk mengingatkan bila kebijakan menyimpang.
Konsep ini sejalan dengan teori “Public Accountability Cycle” yang dikemukakan oleh Richard Mulgan (2000), di mana akuntabilitas publik hanya akan terwujud bila terdapat tiga unsur:
1. Transparency (keterbukaan informasi),
2. Answerability (kesediaan menjawab kritik),
3. Enforceability (kemampuan untuk menegakkan koreksi).
Dalam konteks Indonesia, unsur answerability dan enforceability ini seharusnya dijalankan oleh wakil kepala pemerintahan sebagai bagian dari sistem eksekutif.
Analisis Akademik dan Praktis
Bila dilihat dari sudut pandang akademik, sistem pemimpin–wakil di Indonesia memiliki dua potensi:
1. Potensi sinergi (synergy potential): ketika keduanya bekerja dengan pembagian peran yang saling melengkapi.
2. Potensi konflik (conflict potential): ketika keduanya bersaing dalam pengaruh politik dan birokrasi.
Untuk meminimalkan potensi konflik, dibutuhkan:
Klarifikasi mandat: secara hukum harus dijelaskan peran substantif wakil dalam setiap tahapan kebijakan.
Kelembagaan koordinatif: forum reguler antara kepala dan wakil untuk mengevaluasi kebijakan bersama.
Etika kepemimpinan kolegial: di mana perbedaan dianggap wajar dan konstruktif, bukan destruktif.
Dari sisi praktis, contoh ideal dapat ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan sinergi kuat antara kepala dan wakilnya. Ketika wakil diberikan ruang untuk mengawasi dan memberi masukan, maka pemerintahan berjalan lebih transparan dan partisipatif.
Refleksi Filosofis: Kepemimpinan yang Adil dan Beradab
Kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang lebih berkuasa, tetapi siapa yang lebih amanah. Dalam bahasa klasik administrasi publik, kekuasaan (authority) selalu harus diimbangi dengan tanggung jawab (responsibility).
Pemimpin yang bijak akan menganggap wakilnya sebagai cermin evaluatif, bukan pesaing. Sementara wakil yang berintegritas akan menjalankan pengawasan dengan niat memperbaiki, bukan menjatuhkan.
Filosofi ini senada dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara:
“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Pemimpin memberi teladan di depan, wakil membangun semangat di tengah, dan masyarakat memberikan dorongan di belakang.
Bila filosofi ini diinternalisasi, maka pemerintahan Indonesia dapat menjadi contoh kepemimpinan kolektif yang demokratis, beretika, dan berkeadilan.
Penutup
Kepemimpinan berpasangan dalam sistem pemerintahan Indonesia memiliki makna strategis dan filosofis yang mendalam. Kepala pemerintahan bertugas membuat dan mengeksekusi kebijakan, sedangkan wakil berperan mengawasi, mengevaluasi, dan menjaga integritas pelaksanaannya.
Hubungan ini bukan bentuk dualisme, melainkan simbiosis demokratis yang dirancang untuk mencegah absolutisme dan KKN. Dengan penguatan fungsi wakil melalui regulasi, pendidikan politik, dan budaya administrasi yang sehat, Indonesia dapat membangun pemerintahan yang:
- Profesional dalam kebijakan,
- Transparan dalam pelaksanaan,
- Dan akuntabel dalam pertanggungjawaban.
Keseimbangan antara pemimpin dan wakil bukan sekadar struktur birokrasi, tetapi manifestasi filosofi keadilan dan kebijaksanaan Pancasila. Bila diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka cita-cita pemerintahan yang bersih, adil, dan beradab akan terwujud nyata.
🕊️ “Pemimpin menetapkan arah, wakil menjaga agar arah itu tetap lurus; keduanya ibarat mata dan telinga negara yang bekerja bersama demi keadilan rakyat.”
— Dr. Basa Alim Tualeka, M.Si
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar