Menghapus PBB & Pajak Kendaraan Demi Negara yang Lebih Adil
Oleh : Basa Alim Tualeka (obasa).
Pendahuluan: Pajak Seharusnya Menguatkan, Bukan Membebani
Portal Suara Academia: Pajak adalah instrumen vital sebuah negara. Namun pajak hanya layak dipungut bila memenuhi syarat dasar: adil, proporsional, bermanfaat, dan tidak menindas. Jika pajak justru menjadi beban yang menekan rakyat tanpa timbal balik, maka pajak tersebut kehilangan legitimasi moral, sosial, dan konstitusional.
Dua jenis pajak yang menuai kritik publik sejak lama adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak kendaraan bermotor. Bagi sebagian besar rakyat, keduanya dianggap sebagai pajak yang “menghukum” orang hanya karena memiliki tempat tinggal atau kendaraan yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar modern.
Tulisan ini mengulas secara mendalam mengapa pemerintah ideal yang benar dan adil seharusnya menghapus atau merevisi total PBB dan pajak kendaraan, dilengkapi dengan pandangan para pakar ekonomi, ilmuwan kebijakan publik, hingga ulama dan etika Islam.
I. PBB: Ketika Kepemilikan Rumah Dipungut Seperti Sewa
1. Rumah adalah kebutuhan dasar, bukan objek pajak berulang
Dalam teori ekonomi kesejahteraan modern, rumah adalah basic needs setara pangan dan kesehatan. Dr. Hernando de Soto, ekonom dunia asal Peru, menyebut rumah sebagai “sumber stabilitas sosial dan identitas manusia.”
Memajaki rumah setiap tahun dengan PBB berarti negara memosisikan rakyat seperti penyewa, padahal tanah itu sudah dibeli dengan kerja keras.
Ekonom UI, Dr. Faisal Basri, menyatakan bahwa:
“PBB rumah tinggal tidak mencerminkan asas keadilan horizontal. Orang sudah beli tanah mahal, bangun rumah sendiri, tetapi dipajaki setiap tahun tanpa batas.”
Sementara Prof. Didik J. Rachbini, ekonom kebijakan publik, menegaskan:
“PBB berulang itu semacam double burden. Negara menarik sewa tahunan dari rakyat di tanahnya sendiri.”
Pakar perumahan dan kota dari ITB, Prof. Ir. Deddy T., menambahkan bahwa PBB rumah tinggal adalah bentuk distortion karena tidak menghasilkan nilai ekonomi langsung.
2. Perspektif syariah: MUI memprioritaskan keadilan
Dalam fiqh muamalah, pajak tidak boleh membebani harta milik pribadi yang tidak produktif.
Pengurus Pusat MUI dalam berbagai diskusi fiskal menyatakan:
“Harta yang bukan objek usaha dan tidak menghasilkan, tidak selayaknya dikenai pungutan berulang.”
Rumah tinggal termasuk kategori ini.
Bahkan ulama besar seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa:
“Pajak hanya boleh dikenakan atas harta produktif atau penghasilan yang mendatangkan profit.”
Rumah tinggal tidak memenuhi kriteria ini. Karena itu, dalam konteks keadilan syariah, PBB rumah tinggal tidak tepat secara moral dan fiqh.
3. Beban psikologis dan sosial PBB
PBB menciptakan efek psikologis berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga pensiunan. Banyak kasus orang harus menjual rumah karena tidak sanggup membayar PBB.
Ilmuwan sosial UGM, Dr. Sutopo, M.Si, mencatat bahwa:
“PBB dapat menjadi faktor pemicu kemiskinan baru ketika beban tagihan menumpuk pada rumah tangga rentan.”
Maka, penghapusan PBB bagi rumah tinggal akan menghilangkan tekanan psikologis dan memperkuat stabilitas sosial.
II. Pajak Kendaraan: Pajak Berulang tanpa Manfaat Nyata
1. Fungsi pajak kendaraan sudah tumpang tindih
Secara teori, pajak kendaraan bertujuan untuk:
1. Mengendalikan jumlah kendaraan
2. Membiayai perawatan jalan
3. Menambah pendapatan daerah
Namun dalam praktik:
- Jalan tetap rusak
- Anggaran infrastruktur sebenarnya berasal dari APBN & APBD
- BBM sudah dipajaki tinggi
- Ada pungutan lain: tol, parkir, retribusi
Artinya, pajak kendaraan adalah pungutan berganda.
Pakar kebijakan transportasi ITB, Prof. Budi Yulianto, menyebut bahwa:
“Pajak tahunan kendaraan adalah duplikasi kebijakan. BBM sudah mengandung pajak yang besar.”
Ilmuwan transportasi UI, Dr. Ellen Tangkudung, menilai bahwa:
“Pajak kendaraan tidak efektif mengendalikan populasi kendaraan. Solusinya bukan pajak, tetapi transportasi publik.”
2. Tidak adil bagi rakyat menengah ke bawah
Bagi banyak keluarga, motor bukan barang mewah—melainkan alat kerja.
Pajak tahunan motor adalah beban yang tidak signifikan bagi negara, tetapi sangat signifikan bagi rakyat.
Ekonom Harvard, James Mirrlees, penerima Nobel Ekonomi bidang perpajakan optimal, mengatakan:
“Pajak harus mempertimbangkan ability to pay. Jika beban pajak lebih besar dari manfaatnya, itu pajak yang tidak adil.”
Pajak kendaraan bagi rakyat kecil melanggar prinsip ini.
3. Perspektif keadilan sosial
Ilmuwan kebijakan publik dari Leiden University, Prof. John Nugroho, menjelaskan bahwa:
“Pajak yang bersifat regresif atau menekan kelompok rentan seharusnya dihapus, bukan diperbaiki.”
Pajak kendaraan termasuk tipe regresif—karena membebani semua orang tanpa melihat manfaat atau kemampuan bayar.
III. Prinsip Negara Adil: Pajak Bukan Alat Menindas
Negara adil harus memegang tiga prinsip pajak:
1. Only Tax What Gives Benefit
Kenakan pajak hanya pada aset produktif, bukan rumah tinggal atau kendaraan masyarakat.
2. Protect the Vulnerable
Pajak tidak boleh membuat rakyat miskin semakin miskin.
PBB dan pajak kendaraan terbukti memberikan tekanan berat bagi rakyat menengah bawah.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Pajak yang sehat harus jelas peruntukannya.
Faktanya, penggunaan pajak PBB dan kendaraan jarang dipublikasikan secara rinci.
IV. Model Ideal yang Seharusnya Diterapkan Pemerintah
1. Hapus PBB untuk rumah tinggal
Tidak dikenakan bagi rumah rakyat kecil dan menengah
PBB hanya diterapkan pada : Mall, Hotel, Pabrik besar, Perkebunan raksasa, Tambang, Properti komersial asing dll.
2. Hapus pajak kendaraan rakyat kecil
- Motor dan mobil sederhana bebas pajak tahunan
- Registrasi hanya sekali saat pembelian
- Pajak kendaraan mahal tetap tinggi
- Pajak untuk angkutan bisnis besar disesuaikan dengan kapasitas ekonomi
3. Fokus pada pajak yang adil
- Pajak keuntungan perusahaan besar
- Royalti SDA
- Pajak perdagangan digital raksasa
- Pajak karbon untuk korporasi besar
4. Perkuat transparansi & pencegahan korupsi
Pajak hanya bermanfaat jika dikelola tanpa kebocoran.
Setiap rupiah harus diumumkan ke publik.
V. Pandangan Para Tokoh Dunia: Pajak Tidak Boleh Menghukum
Pakar ekonomi global seperti Joseph Stiglitz, Thomas Piketty, dan Amartya Sen menegaskan bahwa pajak seharusnya menjadi alat redistribusi, bukan alat penindasan.
Stiglitz berkata:
“Pajak yang tidak menghasilkan manfaat bagi rakyat harus dihapus. Pajak semacam itu bukan instrumen pembangunan.”
Piketty menambahkan:
“Pajak harus memajaki kekayaan besar, bukan beban hidup masyarakat umum.”
Ini mendukung penghapusan PBB rumah tinggal dan pajak kendaraan rakyat.
VI. Penutup: Menuju Negara yang Benar dan Adil
Rumah dan kendaraan bukan lagi simbol kemewahan—melainkan kebutuhan untuk hidup layak.
Negara yang adil tidak memajaki kebutuhan dasar, tetapi memajaki keuntungan besar dan aset produktif.
Maka, pemerintah ideal yang benar dan adil harus menata ulang sistem pajak dengan cara:
- Menghapus PBB rumah tinggal
- Menghapus pajak kendaraan bagi rakyat kecil
- Memperkuat pajak untuk aset produktif dan korporasi besar
- Meningkatkan transparansi dalam penggunaan pajak
- Memastikan pajak digunakan untuk pelayanan publik, bukan korupsi
Dengan demikian, pajak akan kembali pada hakikatnya:
alat keadilan, alat kesejahteraan, dan alat kemajuan bangsa. (Obasa)
Portal Suara Academia hadir sebagai platform akademis berkualitas dengan artikel ilmiah, diskusi panel, dan ulasan buku oleh Profesional dan Akademisi terkemuka, dengan standar tinggi dan etika yang ketat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar